Aku perlahan-lahan menuju batu besar tempat aku biasa mandi. Setelah meletakkan ember dan melepas pakaian yang kukenakan, aku turun ke air dan berendam beberapa saat seraya menggosok-gosok tubuhku. Langit di atas sana memang sudah mulai gelap. Aku harus cepat saja. Sikat gigi dan menyabuni tubuhku.
   Tapi ternyata aku tidak sendiri. Masih ada orang lain yang juga mandi di jauhan sana. Kira-kira lima puluh meter di sebelah kiriku. Seorang lelaki. Dia duduk di atas batu pipih yang besar  membelakangiku. Pelan-pelan dia turun ke air, lalu terdengar kecipak air saat dia membasuh tubuhnya. Aku tak jelas, apakah dia juga bertelanjang bulat sepertiku, atau memakai celana basahan. Cahaya senja memang sudah amat temaram.
   Beberapa saat kemudian orang itu membalikkan tubuhnya, naik kembali dan duduk di atas batu pipih yang besar itu. Sempat tadi kulihat wajahnya. Rasanya aku kenal. Bukankah orang itu bapaknya Asri, yang belum lama  tadi mengetuk pintu rumahku dan memberikan buah pepaya matang sebesar kepala sapi?
   Aku berdehem. Orang itu menoleh. Mata kami bersirobok pandang. Ternyata benar! Dia bapaknya Asri.
   "Bapak Asri, tumben mandi ke kali?" kataku tertawa. "Baru kali ini saya lihat!"
   "Iya, budak kasep. Lagi malas mandi di rumah," jawabnya lirih.
   "Saya balik duluan, Bapak Asri. Sudah hampir malam ini. Banyak nyamuk."
   Aku bergegas membelitkan handuk di pinggangku. Kuraih ember kecil berisi perlengkapan mandiku, lantas dengan cepat meloncat ke atas. Aku baru sadar. Itu ternyata bukan bapaknya si Asri. Matanya tadi ketika menatapku. Itu bukan mata manusia. Bukan! Tapi...Tapi...Itu...Itu mata hantuuuuu!
   Aku lari terbirit-birit sampai ke atas. Ketika kutengok ke bawah, ke arah batu pipih besar di tengah kali Ciliwung itu, sosok itu benar sudah tak tampak!
   Dan setibanya di rumah, aku cepat-cepat membuka pintu, lalu masuk dan langsung menguncinya. Lampu ruang tengah kunyalakan. Kepalaku serasa membesar, dan bulu tengkuk dan tanganku berdiri serempak. Aku merasa seolah-olah ada yang membuntutiku dari arah belakang. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa.
   Aku berjalan menuju kamarku di bagian belakang. Kunyalakan lampu kamar. Aku terkejut bukan main. Pepaya sebesar kepala sapi yang tadi kuletakkan di atas meja kecil dekat tempat tidurku, sudah tidak ada. Kucari ke pojok-pojok kamar, juga di bawah tempat tidurku, siapa tahu jatuh dan menggelinding ke bawah, ternyata juga tidak ada! Lantas siapa yang tadi mengantar buah pepaya besar itu, yang sosok dan wajahnya mirip bapaknya Asri?