Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makan Bergizi Gratis untuk Siswa, Gurunya Makan Apa?

12 Januari 2025   10:22 Diperbarui: 12 Januari 2025   11:19 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring bergulirnya waktu, upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas gizi melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang meskipun belum serentak terlaksana di seluruh Indonesia. Sasaran program ini adalah anak-anak usia sekolah mulai dari PAUD hingga SMA, serta balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Sebuah langkah yang bagus untuk melawan gizi buruk dan meningkatkan daya konsentrasi generasi penerus bangsa.

Program MBG ini membawa angin segar khususnya para siswa yang kini dapat menikmati makanan bergizi di sekolah. Mereka kini tak hanya mengandalkan bekal dari rumah atau jajanan sekolah yang terkadang kurang memenuhi standar gizi. 

Kehadiran MBG di beberapa sekolah menjadi solusi praktis sekaligus inspirasi untuk menjadikan gizi sebagai prioritas utama.

Namun, ada satu pertanyaan iseng yang cukup menggelitik. Mengapa MBG ini hanya menyentuh murid dan belum mengikutsertakan guru? 

Dalam hiruk-pikuk pelaksanaan MBG yang mulai diterapkan di beberapa daerah ada satu kelompok yang tampaknya luput dari perhatian yaitu para guru. 

Sebagai sosok yang memegang peran sentral dalam mendidik generasi muda disarankan guru sebaiknya mendapatkan perhatian yang sama dalam program ini.

Mengapa guru perlu diikutsertakan dalam MBG? Pertama-tama, peran mereka dalam proses belajar-mengajar sangatlah vital. Seorang guru yang kurang asupan gizi cenderung memiliki energi yang rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pengajaran.

Terlebih bagi guru (honorer) yang memiliki gaji sangat terbatas. untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari bisa menjadi tantangan tersendiri. Ada kalanya mereka harus menekan pengeluaran untuk makanan bergizi demi mencukupi kebutuhan hidup lainnya.

Ketika murid-murid mendapatkan makanan bergizi alangkah baiknya jika guru juga diberikan fasilitas serupa. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pelaku pendidikan tetapi juga mendapatkan perlakuan yang manusiawi sebagai bagian dari ekosistem sekolah.

Ada kekhawatiran bahwa guru juga dapat mengalami kekurangan gizi yang berujung pada menurunnya produktivitas. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberhasilan pendidikan mengingat guru adalah motor penggerak utama dalam proses pembelajaran.

Sebagai kelompok yang seringkali bekerja tanpa pamrih maka dukungan pemerintah akan memberikan motivasi tambahan untuk terus berkarya di tengah keterbatasan yang ada.

Guru sebagai garda depan pendidikan memiliki peran vital dalam membentuk karakter dan kecerdasan siswa. Tetapi di balik layar, tidak sedikit dari mereka khususnya guru honorer yang harus bertahan dengan gaji yang sangat terbatas.

Fakta ini menimbulkan keprihatinan tersendiri. Dengan penghasilan yang minim tentu banyak guru harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk urusan makan atau mencukupi asupan gizi.

Dalam dunia pendidikan, guru merupakan salah satu sosok kunci keberhasilan siswa. Namun, bagaimana mereka bisa optimal menjalankan tugasnya jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi dengan baik?

Ilustrasi. (KOMPAS/SUPRIYANTO)
Ilustrasi. (KOMPAS/SUPRIYANTO)

Sayangnya ketika murid-murid menikmati MBG maka ada saja kasus dimana guru harus mencari solusi instan untuk memenuhi kebutuhan makan siang mereka.

Ada berita yang sempat viral dimana sekolah meminta iuran tambahan kepada orangtua siswa untuk biaya makan siang guru. Praktik ini tentu menimbulkan polemik bahkan menuai protes keras dari para orangtua yang merasa keberatan dengan biaya tambahan tersebut.

Praktik tersebut menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak yang merasa bahwa pendidikan seharusnya bebas dari pungutan liar apalagi jika itu membebani orangtua siswa yang sudah berjuang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tindakan seperti ini meskipun mungkin dilakukan dengan niat baik jelas masih sulit untuk bisa dibenarkan. Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi ruang yang bebas dari beban biaya tambahan yang tidak wajar. 

Kendati demikian, solusi bukan berarti tidak ada. Salah satu langkah yang bisa dipertimbangkan adalah memperluas cakupan MBG hingga mencakup para guru. 

Jika memungkinkan, porsi makanan bergizi yang disediakan dapat dilebihkan untuk para pendidik terutama yang berstatus honorer.

Melibatkan guru dalam MBG tidak hanya menyelesaikan masalah ini. Oknum guru seperti mereka tidak perlu lagi mencari cara lain yang kontroversial untuk memenuhi kebutuhan.

Dari sudut pandang pemerintah, memasukkan guru dalam program MBG adalah supaya guru ikut sehat, lebih produktif, memiliki energi lebih untuk mendidik siswa. dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif.

Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)
Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Kesejahteraan guru tidak boleh dianggap sebagai kebutuhan sekunder tetapi sebagai investasi langsung bagi kualitas pendidikan bangsa.

Mungkin tidak usah ada MBG untuk guru. Akan tetapi melalui upaya peningkatan kesejahteraan guru juga dapat menjadi bentuk apresiasi atas dedikasi mereka. 

Dengan memberikan perhatian pada guru maka pemerintah dapat menciptakan efek domino yang positif. Guru yang sejahtera tentu akan lebih produktif, kreatif, dan makin hebat dalam mendidik siswa. 

Program kesejahteraan juga dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan citra profesi guru. Ketika mereka merasa diperhatikan oleh pemerintah tentu semangat untuk mengabdi akan terus meningkat.

Keterlibatan guru dalam program MBG atau dalam upaya peningkatan kesejahteraan melalui cara yang lainnya juga dapat menciptakan rasa keadilan. Mereka akan merasa dihargai oleh pemerintah.

Melihat potensi besar MBG tampak harapan masyarakat terhadap program ini sangat tinggi. Bagi anak-anak, program ini adalah langkah menuju masa depan serta jaminan bahwa gizi mereka menjadi perhatian utama pemerintah.

Tidak dapat disangkal, ada tantangan dalam implementasi kebijakan ini. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah dapat mengelola anggaran tanpa mengurangi kualitas makanan yang disediakan.

Juga tantangan bagaimana memastikan keberlanjutan program ini di tengah keterbatasan anggaran. Tanpa pengelolaan yang baik maka program ini bisa saja berakhir di tengah jalan.

Mungkin pemerintah dapat bekerja sama dengan berbagai pihak. kolaborasi dengan sektor swasta juga bisa menjadi opsi untuk mendukung keberlanjutan program ini. Banyak perusahaan yang memiliki program tanggung jawab sosial (CSR) yang bisa diarahkan untuk mendukung MBG.

Di banyak negara, program makan gratis tidak hanya untuk siswa tetapi juga mencakup guru dan staf sekolah. Langkah ini dilakukan dengan kesadaran bahwa semua pihak yang terlibat dalam pendidikan adalah satu kesatuan yang saling mendukung.

Di Indonesia sebagai negara berkembang yang terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan jika memungkinkan juga bisa meniru kebijakan ini. Jika belum memungkinkan maka memperhatikan kesejahteraan guru hendaknya dapat benar-benar menjadi prioritas nasional.

Ilustrasi. (KOMPAS/Fristin Intan Sulistyowati)
Ilustrasi. (KOMPAS/Fristin Intan Sulistyowati)

Guru dan siswa adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Kita jadikan MBG sebagai program yang inklusif yang menjangkau semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan yang baik hanya bisa tercipta dari sinergi yang kuat salah satunya antara guru dan siswa.

Selain itu, sosialisasi yang masif juga perlu dilakukan. Banyak masyarakat yang mungkin belum menyadari betapa pentingnya peran gizi bagi kualitas pendidikan. Tapi kita tak sadar bahwa guru yang melakukan edukasi juga belum sepenuhnya memperoleh gizi dari pemerintah sebab gaji yang belum memadai.

Masa depan bangsa tidak hanya bergantung pada generasi muda tetapi juga pada mereka yang mendidik generasi itu. 

Agar kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan inklusif. Guru yang sehat dan bahagia adalah aset tak ternilai bagi keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Dukungan ini akan memberikan motivasi tambahan bagi mereka untuk terus memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

Dalam skema yang lebih besar, keberhasilan program MBG tidak hanya terletak pada distribusinya tetapi juga pada dampak jangka panjang yang dihasilkannya. Anak-anak yang sehat dan bergizi baik tentu akan tumbuh menjadi individu yang lebih produktif di masa depan.

Namun, untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan pendekatan holistik. Keterlibatan semua pihak sangatlah penting. Kesuksesan MBG maupun dunia pendidikan bukan hanya tanggung jawab satu pihak tetapi hasil kolaborasi yang erat.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun