Seiring bergulirnya waktu, upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas gizi melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang meskipun belum serentak terlaksana di seluruh Indonesia. Sasaran program ini adalah anak-anak usia sekolah mulai dari PAUD hingga SMA, serta balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Sebuah langkah yang bagus untuk melawan gizi buruk dan meningkatkan daya konsentrasi generasi penerus bangsa.
Program MBG ini membawa angin segar khususnya para siswa yang kini dapat menikmati makanan bergizi di sekolah. Mereka kini tak hanya mengandalkan bekal dari rumah atau jajanan sekolah yang terkadang kurang memenuhi standar gizi.Â
Kehadiran MBG di beberapa sekolah menjadi solusi praktis sekaligus inspirasi untuk menjadikan gizi sebagai prioritas utama.
Namun, ada satu pertanyaan iseng yang cukup menggelitik. Mengapa MBG ini hanya menyentuh murid dan belum mengikutsertakan guru?Â
Dalam hiruk-pikuk pelaksanaan MBG yang mulai diterapkan di beberapa daerah ada satu kelompok yang tampaknya luput dari perhatian yaitu para guru.Â
Sebagai sosok yang memegang peran sentral dalam mendidik generasi muda disarankan guru sebaiknya mendapatkan perhatian yang sama dalam program ini.
Mengapa guru perlu diikutsertakan dalam MBG? Pertama-tama, peran mereka dalam proses belajar-mengajar sangatlah vital. Seorang guru yang kurang asupan gizi cenderung memiliki energi yang rendah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pengajaran.
Terlebih bagi guru (honorer) yang memiliki gaji sangat terbatas. untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari bisa menjadi tantangan tersendiri. Ada kalanya mereka harus menekan pengeluaran untuk makanan bergizi demi mencukupi kebutuhan hidup lainnya.
Ketika murid-murid mendapatkan makanan bergizi alangkah baiknya jika guru juga diberikan fasilitas serupa. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pelaku pendidikan tetapi juga mendapatkan perlakuan yang manusiawi sebagai bagian dari ekosistem sekolah.
Ada kekhawatiran bahwa guru juga dapat mengalami kekurangan gizi yang berujung pada menurunnya produktivitas. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberhasilan pendidikan mengingat guru adalah motor penggerak utama dalam proses pembelajaran.