Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan segera berlangsung serentak pada tahun ini menjadi ajang pertarungan para Calon Kepala Daerah dalam memperebutkan hati dan suara rakyat. Janji-janji politik mulai bertebaran, dari pembangunan infrastruktur hingga janji kesejahteraan sosial, mereka berusaha untuk menarik simpati pemilih. Namun, ada kelompok yang nasibnya masih sering diabaikan dalam janji politik ini, yaitu para guru, khususnya guru agama atau guru Pendidikan Agama Islam (PAI), yang masih berstatus honorer dan belum mengikuti Program Profesi Guru (PPG) menghadapi berbagai tantangan kesejahteraan.
Di Indonesia, guru PAI honorer menjadi salah satu kelompok tenaga pendidik yang masih banyak mengalami ketidakpastian. Banyak dari mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun, namun status mereka tetap belum jelas.Â
Terlebih lagi, peluang untuk diangkat menjadi guru ASN jalur PPPK ataupun mengikuti Program Profesi Guru (PPG) sangat terbatas, membuat mimpi mereka untuk mendapatkan kepastian karir dan kesejahteraan semakin jauh dari genggaman.
Kuota PPG yang dibatasi oleh pemerintah pusat menjadi salah satu masalah krusial. Program ini seharusnya menjadi jalan bagi para guru untuk mendapatkan pengakuan profesionalitas serta hak-hak yang layak.Â
Namun, ketika kesempatan itu dibatasi, harapan para guru PAI menjadi terhimpit. Setiap tahun, ribuan guru menunggu pemanggilan, namun hanya segelintir yang lolos. Situasi ini menciptakan dilema besar bagi tenaga pendidik yang menginginkan pengakuan profesi dan peningkatan kesejahteraan.
Dalam situasi seperti ini, para Calon Kepala Daerah memiliki peluang besar untuk meraih simpati para guru. Dengan memberikan perhatian lebih kepada nasib tenaga pendidik, khususnya guru agama, mereka bisa menjadi pahlawan dalam mata para pemilih yang berprofesi sebagai guru.Â
Tidak hanya sebatas janji, tetapi solusi nyata yang dibutuhkan ---mulai dari memperjuangkan kuota PPG hingga pengangkatan guru honorer menjadi ASN.
Bukan rahasia lagi bahwa guru PAI memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak bangsa. Mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang akan menjadi fondasi kehidupan generasi mendatang.Â
Sayangnya, peran vital ini seringkali tidak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka terima. Ketimpangan ini harus menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan.
Para guru PAI, baik yang berstatus ASN maupun non-ASN, berharap pada perubahan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Pilkada kali ini bisa menjadi momentum bagi Calon Kepala Daerah untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap pendidikan agama islam.Â
Menyuarakan kepedulian pada nasib para guru PAI dapat menjadi poin plus bagi kandidat, karena mereka memperjuangkan pendidikan moral bangsa, yang sangat relevan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
Namun, yang perlu dicatat, guru PAI tidak hanya membutuhkan janji, mereka membutuhkan aksi nyata. Para Calon Kepala Daerah harus berani menyuarakan dan memperjuangkan kebijakan yang mempermudah akses guru untuk mendapatkan sertifikasi dan peningkatan kesejahteraan.Â
Ini bukan hanya soal janji manis kampanye, tetapi juga investasi jangka panjang untuk masa depan pendidikan agama di Indonesia.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah juga sangat dibutuhkan. Kuota PPG yang terbatas tidak hanya menjadi tanggung jawab pusat, tapi juga daerah.Â
Kepala daerah harus mampu mendorong adanya kebijakan yang inovatif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas guru bersertifikasi di wilayahnya. Dengan kebijakan yang tepat, masalah ini bisa diselesaikan secara bertahap.
Harapan besar para guru agama kini berada di tangan para Calon Kepala Daerah. Mereka menanti bukan sekadar janji-janji manis, tetapi langkah konkret yang mampu memperbaiki kesejahteraan mereka.Â
Di tengah hiruk-pikuk Pilkada, suara para guru ini seharusnya didengar dan menjadi prioritas, karena di tangan mereka lah ada masa depan moral dan spiritual bangsa.
Menjadi guru di negeri ini, terutama guru PAI, seringkali ibarat mengarungi lautan dilema. Di satu sisi, mereka adalah pilar utama yang membentuk karakter generasi penerus. Namun di sisi lain, status mereka yang sebagian besar masih honorer atau menunggu sertifikasi profesi (PPG) seringkali tidak diakui dengan layak.Â
Parahnya, untuk mendapatkan pengakuan atau hak yang seharusnya mereka terima, para guru ini harus "mengemis" terlebih dahulu kepada pemerintah atau wakil rakyat.
Fenomena ini semakin mencolok menjelang Pilkada. Para Calon Kepala Daerah berlomba-lomba menawarkan janji-janji manis, seolah-olah mereka siap mengubah nasib para guru dalam sekejap.Â
Sayangnya, tidak semua janji tersebut benar-benar tulus. Banyak calon yang memandang aspirasi para guru, khususnya guru PAI, sebagai komoditas politik semata ---alat untuk mendulang suara. Bagi mereka, dukungan dari guru hanya dipandang sebagai peluang, bukan tanggung jawab.
Tentu saja, tidak semua calon politisi bersikap demikian. Ada segelintir wakil rakyat atau Calon Kepala Daerah dengan track record yang amanah dan benar-benar mendengarkan aspirasi para guru.Â
Mereka memahami bahwa nasib para pendidik harus diperjuangkan melalui kebijakan yang nyata dan adil.Â
Akan tetapi, di tengah lautan kepentingan politik, menemukan sosok yang tulus seperti ini bisa jadi sulit. Di sinilah para guru sering merasa terombang-ambing ---menjadi objek janji, namun jarang mendapatkan solusi.
Bila mereka bertemu dengan Kepala Daerah yang hanya mengejar suara, nasib para guru PAI bisa semakin suram.Â
Aspirasi mereka dipermainkan, sekadar dijadikan alat kampanye tanpa tindak lanjut konkret. Mereka diabaikan begitu saja setelah pemilu usai, sementara janji kesejahteraan dan kesempatan karir yang lebih baik menguap bersama kemenangan politik.Â
Guru PAI pun kembali menghadapi kenyataan pahit, menanti janji yang tidak kunjung terealisasi.
Padahal, sekali lagi, pengakuan terhadap para guru PAI bukan sekadar soal honor atau status ASN. Lebih dari itu, ini tentang menghargai peran penting mereka dalam membentuk akhlak dan karakter bangsa.Â
Guru PAI adalah penjaga nilai-nilai moral yang sangat dibutuhkan di tengah tantangan globalisasi dan krisis etika. Mengabaikan mereka berarti mengabaikan masa depan moral bangsa.
Para Calon Kepala Daerah harus sadar bahwa memperjuangkan nasib guru PAI bukanlah pilihan, tetapi bagian dari misi mulia.Â
Jika mereka benar-benar peduli pada pendidikan dan moral bangsa dan komitmen terhadap nasib guru PAI harus diwujudkan melalui kebijakan nyata, bukan sekadar retorika kampanye.Â
Para guru ini layak mendapatkan pengakuan, bukan sekadar dijadikan objek politik yang dipermainkan untuk kepentingan sesaat.
Kini, di persimpangan aspirasi dan kepentingan, para guru PAI hanya bisa berharap bertemu dengan calon pemimpin yang benar-benar peduli dan mau bertindak. Bukan sekadar janji, tetapi aksi nyata untuk memperjuangkan hak guru sebagai pilar moral dan pendidik bangsa.
Semoga ini bermanfaat..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H