Sayangnya, tidak semua janji tersebut benar-benar tulus. Banyak calon yang memandang aspirasi para guru, khususnya guru PAI, sebagai komoditas politik semata ---alat untuk mendulang suara. Bagi mereka, dukungan dari guru hanya dipandang sebagai peluang, bukan tanggung jawab.
Tentu saja, tidak semua calon politisi bersikap demikian. Ada segelintir wakil rakyat atau Calon Kepala Daerah dengan track record yang amanah dan benar-benar mendengarkan aspirasi para guru.Â
Mereka memahami bahwa nasib para pendidik harus diperjuangkan melalui kebijakan yang nyata dan adil.Â
Akan tetapi, di tengah lautan kepentingan politik, menemukan sosok yang tulus seperti ini bisa jadi sulit. Di sinilah para guru sering merasa terombang-ambing ---menjadi objek janji, namun jarang mendapatkan solusi.
Bila mereka bertemu dengan Kepala Daerah yang hanya mengejar suara, nasib para guru PAI bisa semakin suram.Â
Aspirasi mereka dipermainkan, sekadar dijadikan alat kampanye tanpa tindak lanjut konkret. Mereka diabaikan begitu saja setelah pemilu usai, sementara janji kesejahteraan dan kesempatan karir yang lebih baik menguap bersama kemenangan politik.Â
Guru PAI pun kembali menghadapi kenyataan pahit, menanti janji yang tidak kunjung terealisasi.
Padahal, sekali lagi, pengakuan terhadap para guru PAI bukan sekadar soal honor atau status ASN. Lebih dari itu, ini tentang menghargai peran penting mereka dalam membentuk akhlak dan karakter bangsa.Â
Guru PAI adalah penjaga nilai-nilai moral yang sangat dibutuhkan di tengah tantangan globalisasi dan krisis etika. Mengabaikan mereka berarti mengabaikan masa depan moral bangsa.
Para Calon Kepala Daerah harus sadar bahwa memperjuangkan nasib guru PAI bukanlah pilihan, tetapi bagian dari misi mulia.Â