Menyuarakan kepedulian pada nasib para guru PAI dapat menjadi poin plus bagi kandidat, karena mereka memperjuangkan pendidikan moral bangsa, yang sangat relevan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
Namun, yang perlu dicatat, guru PAI tidak hanya membutuhkan janji, mereka membutuhkan aksi nyata. Para Calon Kepala Daerah harus berani menyuarakan dan memperjuangkan kebijakan yang mempermudah akses guru untuk mendapatkan sertifikasi dan peningkatan kesejahteraan.Â
Ini bukan hanya soal janji manis kampanye, tetapi juga investasi jangka panjang untuk masa depan pendidikan agama di Indonesia.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah juga sangat dibutuhkan. Kuota PPG yang terbatas tidak hanya menjadi tanggung jawab pusat, tapi juga daerah.Â
Kepala daerah harus mampu mendorong adanya kebijakan yang inovatif untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas guru bersertifikasi di wilayahnya. Dengan kebijakan yang tepat, masalah ini bisa diselesaikan secara bertahap.
Harapan besar para guru agama kini berada di tangan para Calon Kepala Daerah. Mereka menanti bukan sekadar janji-janji manis, tetapi langkah konkret yang mampu memperbaiki kesejahteraan mereka.Â
Di tengah hiruk-pikuk Pilkada, suara para guru ini seharusnya didengar dan menjadi prioritas, karena di tangan mereka lah ada masa depan moral dan spiritual bangsa.
Menjadi guru di negeri ini, terutama guru PAI, seringkali ibarat mengarungi lautan dilema. Di satu sisi, mereka adalah pilar utama yang membentuk karakter generasi penerus. Namun di sisi lain, status mereka yang sebagian besar masih honorer atau menunggu sertifikasi profesi (PPG) seringkali tidak diakui dengan layak.Â
Parahnya, untuk mendapatkan pengakuan atau hak yang seharusnya mereka terima, para guru ini harus "mengemis" terlebih dahulu kepada pemerintah atau wakil rakyat.
Fenomena ini semakin mencolok menjelang Pilkada. Para Calon Kepala Daerah berlomba-lomba menawarkan janji-janji manis, seolah-olah mereka siap mengubah nasib para guru dalam sekejap.Â