Guru dan dilema fake productivity
Tak hanya pekerja kantoran, bahkan para pendidik dan guru pun tak luput dari dampaknya. Fenomena ini muncul ketika seseorang lebih fokus pada pencitraan kegiatan yang terlihat produktif daripada substansi sebenarnya dari pekerjaan yang dilakukan.
Sebagai seorang pendidik atau guru, terjebak dalam fake productivity dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan atau pembelajaran yang disampaikan kepada anak didik.Â
Apa saja wujud fake productivity pada guru?
Guru, misalnya, sering merasakan tekanan untuk terlihat produktif di hadapan siswa, rekan kerja dan staf kependidikan, maupun di mata Kepala Sekolah.Â
Mereka mungkin tergoda untuk memperbanyak jumlah tugas tambahan, proyek, ataupun pelatihan, yang sebenarnya tidak relevan atau bermanfaat bagi perkembangan siswa.Â
Hal itu hanya akan menciptakan lingkungan yang fokus pada kuantitas pekerjaan dan "status" daripada kualitas dalam pembelajaran atau tugas mengajar dan mendidik.
Bila guru terlalu fokus agar terlihat produktif, seringkali itu akan mengabaikan aspek kreativitas, refleksi, dan pemulihan atau aksi tindak lanjut yang penting untuk meningkatkan kinerja guru secara keseluruhan.
Selain itu, produktivitas palsu juga mendorong guru untuk mengorbankan keseimbangan hidup dan pekerjaan. Guru mungkin menghabiskan jam kerja yang panjang di kantor atau di depan komputer sesudah jadwal mengajar, tanpa memperhitungkan waktu istirahat yang cukup.
Ataupun, dibalik misi untuk tampak tetap produktif, guru yang terkena fake productivity malah terjebak dalam interaksi sosial yang kurang sehat misalnya ngumpul-ngumpul ngobrol ngalor-ngidul sambil ghibah/gossip.Â
Dan penyebab fake productivity pada guru?
Guru merupakan pilar penting dalam pembentukan generasi penerus, namun guru juga rentan terhadap fenomena produktivitas palsu yang dapat mengganggu efektivitas pengajaran dan proses pendidikan.Â
Beberapa penyebab terjadinya produktivitas palsu pada guru adalah: