Misalnya fenomena sekolah swasta yang membebaskan aturan seragam menarik perhatian tersendiri. Beberapa institusi pendidikan memilih membiarkan siswa memilih pakaian sesuai keinginan mereka. Meskipun demikian, hal ini tampaknya tidak menimbulkan masalah berarti. Fokus lebih dititikberatkan pada prestasi dan karakter siswa sesuai dengan kebijakan sekolah masing-masing.
Namun, apakah kita pernah membayangkan bagaimana masalah seragam sekolah ini terjadi di sekolah-sekolah di daerah pelosok?Â
Siswa-siswa di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) mungkin menghadapi tantangan yang berbeda.Â
Seragam nasional menjadi barang mewah, dan seringkali mereka hanya bisa mengenakan pakaian apa pun yang ada. Namun, semangat mereka untuk mengejar pendidikan tetap membara, menyentuh hati kita.
Di balik ragam persoalan dalam aturan seragam sekolah, cerita fakta dari daerah pelosok ini mengingatkan kita pada esensi pendidikan, yakni semangat dan tekad untuk belajar.Â
Meskipun terbatas oleh situasi ekonomi dan infrastruktur yang mungkin kurang mendukung, siswa-siswa di daerah 3T tetap gigih mengejar impian mereka.Â
Semangat ini seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap individu, tidak peduli dari mana asal dan latar belakangnya.
Merawat seragam sekolah dalam semangat berkelanjutan
Ketika isu seragam sekolah menjadi sorotan, perdebatan pun meluas ke berbagai arah. Dari penekanan atas nilai-nilai kesetaraan hingga penerimaan atas keberagaman ekspresi diri siswa, semuanya turut menjadi bagian dari wacana yang berkembang.Â
Penting bagi kita untuk tidak hanya melihat seragam sekolah sebagai kain yang dikenakan, tetapi juga sebagai simbol yang memperjuangkan nilai-nilai penting dalam masyarakat pendidikan kita.
Namun, di sisi lain, ada tradisi yang menyedihkan dalam budaya sekolah, yaitu tradisi corat-coret seragam sekolah di hari pengumuman kelulusan. Betapa mirisnya rasanya melihat seragam yang seharusnya dihargai harus dicoret-coret begitu saja.