Alotnya pembicaraan mengenai fenomena quiet quitting dan quiet firing di dunia kerja, membuat kami sedikit merenung sekaligus agak merasa heran tentang mengapa kedua hal tersebut bisa terjadi.
Untuk memahami secara ringkas, quiet quitting ini dilakukan oleh para pekerja. sedangkan quiet firing dilakukan oleh atasan atau pihak perusahaan dan atau tempat kerja.
Toksik quiet quitting sendiri menjangkiti para pekerja, dimana ketika pekerja telah terkena toksik yang satu ini maka mereka akan bekerja sesuai jobdesc saja, tidak lebih dari itu.Â
Karena adanya quiet quitting, pola kerja yang diamalkan oleh pekerja yakni: berangkat kerja, menyelesaikan pekerjaan, lalu pulang. begitu saja secara terus-menerus, membuat suasana kerja terasa sangat monoton.
Akibatnya pula bahwa dalam berperilaku pekerja yang terkena quiet quitting menunjukkan sikap seperti "hidup malas, mati tak mau".Â
Bisa anda bayangkan betapa membosankan menjalani hari-hari di dunia kerja yang dirasakan oleh pekerja yang menanam benih quiet quitting dalam dirinya.
Ketika seorang pekerja mengalami quiet quitting, biasanya ia akan lebih "itung-itungan" mengenai tenaganya yang terpakai oleh perusahaan. Ia bahkan lebih banyak menolak tawaran pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Bagi pekerja yang mengalami quiet quitting ini, bagi mereka bekerja yang sebuah proses untuk memperoleh gaji atau uang sebagai upah atas keringat dan tenaga yang telah dikeluarkannya saat bekerja.
Pola pikir dan tindakan pekerja yang terkena quiet quitting adalah, "do your job, take your pay, and go home" atau lakukan pekerjaanmu sesuai jobdesc, pulang tenggo, lalu ambil penghasilanmu, bye!
Jika kita bisa mengumpamakan perilaku pekerja dengan quiet quitting seperti gambaran di atas, maka ibaratnya pekerja tersebut bagaikan robot yang sudah di-setting untuk melakukan rutinitas pekerjaan tertentu yang ada pada database.
Quiet quitting tak muncul pula begitu saja dengan sendirinya. Ada angin, ada hujan.
Dari faktor eksternal seperti pola kepemimpinan atasan yang "kurang manusiawi", banyaknya tekanan dari pekerjaan dan tugas-tugas yang tak terselesaikan dengan tepat waktu, deadline yang penuh konsekuensi, persaingan yang tidak sehat antar sesama pekerja, dan lain sebagainya.
Lama-kelamaan jika fenomena seperti itu terus terjadi kepada para pekerja, maka quiet quitting bagi mereka dianggap sebagai tindakan apresiatif dalam bentuk mekanisme pertahanan diri terhadap tuntutan tinggi perusahaan yang begitu membabi buta.
Perusahaan atau tempat kerja bagi pekerja yang terkena quiet quitting diibaratkan sebagai penjara dengan berbagai kekangan hidup yang dirasakan oleh pekerja tersebut.
Sikap dan perilaku seorang pekerja yang terkena quiet quitting tentu dapat dengan mudah dibedakan oleh pihak perusahaan dengan pekerja lain yang bekerja dengan tetap mengedepankan etos kerja yang baik walau tekanan yang mereka hadapi sama persis dengan tekanan yang dialami pekerja dengan quiet quitting.
Perbedaan sikap dan cara pandang dari sesama pekerja mengenai pekerjaan dan "kontak batin" dengan tempat ia bekerja bisa dipahami oleh pihak perusahaan tanpa rumus tertentu.
Sehingga ketika perusahaan mendapati pekerja yang melakukan tindakan quiet quitting ini maka selanjutnya perusahaan akan melakukan tindakan quiet firing.
Fenomena quiet firing bagi pihak perusahaan disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiet quitting yang ditunjukkan oleh pekerja.
Langkah yang biasanya kerap ditempuh oleh perusahaan, yakni dengan mendiamkan karyawan atau pekerja yang hanya menunjukkan performa ala kadarnya. Perusahaan cenderung tidak melibatkan pekerja tersebut dalam proyek dan promosi yang mana hal tersebut sangat berguna bagi para pekerja demi menunjang karirnya.
Sesuai dengan arti dari quiet firing ini, perusahaan sebenarnya hendak melakukan upaya pemecatan secara diam-diam kepada pekerja dengan quiet quitting tersebut.
Perusahaan bisa saja menganggap bahwa keberadaan pekerja dengan quiet quitting ini sebagai sebuah hama yang harus diberantas.
Padahal yang sejatinya harus diberantas adalah eksistensi quiet quitting yang telah menggerogoti pikiran dan hati nurani pekerja tentang dunia kerja dengan berbagai variasi dan sensasinya.
Ketika perusahaan melakukan tindakan quiet firing sebagai balasan dari sikap pekerja dengan quiet quitting ini, sebenarnya akan menimbulkan banyak kerugian yang akan diterima oleh perusahaan.
Memang benar bahwa perusahaan sebagai pihak yang memiliki "kuasa" bisa sepenuhnya mengatur dan mengendalikan pekerja sesuai ruang lingkup dunia kerja.
Maka, walaupun perusahaan bisa "seenak jidat" melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak kepada pekerja karena melakukan quiet quitting, tetap saja perusahaan akan menanggung kerugian.
Seperti misalnya dalam proses perekrutan karyawan baru yang membutuhkan sokongan dana, tenaga, waktu dan kesempatan yang dimiliki perusahaan.
Untuk membiasakan karyawan baru beradaptasi dengan ciri khas lingkungan perusahaan juga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tetap ada tantangan tersendiri yang dilalui oleh perusahaan dalam kondisi demikian.
Bukankah antara Perusahaan dan Pekerja Saling Membutuhkan dalam Simbiosis Mutualisme?
Pertanyaan diatas menjadi sesuatu hal yang mungkin terlontar oleh semua orang yang telah merenungi fenomena toksik yang terjadi di dunia kerja ini.
Ketika pekerja melakukan quiet quitting artinya pekerja membenci iklim tempatnya bekerja. Kemudian pihak perusahaan membalas dengan mendiamkan dan seolah-olah menganggap pekerja tersebut sudah kehilangan "ruh" sebagai manusia pejuang.
Selayaknya sedari awal segala hal yang dapat menimbulkan tindakan quiet quitting dan quiet firing harus dihindari sebisa dan sesegera mungkin.
Karena sejatinya hubungan yang sebenarnya harus dibangun dan dirawat dengan baik di lingkungan kerja antara pekerja dengan perusahaan adalah keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain.
Bahwa kedua belah pihak saling membutuhkan dan memberikan keuntungan serta manfaat untuk mereka satu sama lain.
Hubungan yang sebenarnya harus diciptakan di dunia kerja adalah simbiosis mutualisme, bukan saling menyalahkan atau meninggikan ego masing-masing pihak.
Untuk itu, hal penting yang harus dicapai oleh pekerja dan pihak perusahaan adalah pola komunikasi dua arah yang tersalurkan dengan baik yang penuh dengan aspirasi dan inspirasi.
Antara pekerja dengan pihak perusahaan sebenarnya dapat diibaratkan bagaikan ibu dan anak atau bahkan bagaikan matahari dan bumi, saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain.
Pekerja membutuhkan perusahaan dan menggantungkan asa dan harapannya kepada perusahaan sebagai lahan basah atau sumber penghasilan.
Lebih dari itu, tentu pekerja menjadikan perusahaan tempatnya bekerja sebagai wadah pengembangan kompetensi, skill dan personal branding untuk aktualisasi diri yang berujung kepada pertumbuhan karir dan masa depan.
Sedangkan perusahaan jelas membutuhkan pekerja untuk memenuhi target-target yang telah ditentukan yang hendak dicapai sebagai bentuk eksistensi perusahaan.
Ketika perusahaan dapat menggerakkan roda semangat dan motivasi di diri para pekerja, maka tentu saja pekerja dapat saling bersinergi mencapai tujuan perusahaan demi kepentingan bersama. Ketika perusahaan meraih profit tentu tingkat kesejahteraan pekerja dapat lebih diperhatikan.
Kesejahteraan pekerja tidak hanya dinilai dari segi finansial, namun juga dari segi emosional dan mental.
Oleh sebab itu, perusahaan harus mampu membangun mental health para pekerjanya.Â
Kembali lagi pada prinsip yang kami tekankan diatas, ketika perusahaan dan pekerja saling bersinergi satu sama lain dengan mengedepankan pola simbiosis mutualisme maka fenomena quiet quitting dan quiet firing dapat dihalau dan ditepis dengan optimis.
Serta pekerja dan perusahaan harus mengutamakan sikap oportunis demi mencapai segala kepentingan dan "goals" yang dicita-citakan.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
[Akbar Pitopang]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H