Perusahaan bisa saja menganggap bahwa keberadaan pekerja dengan quiet quitting ini sebagai sebuah hama yang harus diberantas.
Padahal yang sejatinya harus diberantas adalah eksistensi quiet quitting yang telah menggerogoti pikiran dan hati nurani pekerja tentang dunia kerja dengan berbagai variasi dan sensasinya.
Ketika perusahaan melakukan tindakan quiet firing sebagai balasan dari sikap pekerja dengan quiet quitting ini, sebenarnya akan menimbulkan banyak kerugian yang akan diterima oleh perusahaan.
Memang benar bahwa perusahaan sebagai pihak yang memiliki "kuasa" bisa sepenuhnya mengatur dan mengendalikan pekerja sesuai ruang lingkup dunia kerja.
Maka, walaupun perusahaan bisa "seenak jidat" melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak kepada pekerja karena melakukan quiet quitting, tetap saja perusahaan akan menanggung kerugian.
Seperti misalnya dalam proses perekrutan karyawan baru yang membutuhkan sokongan dana, tenaga, waktu dan kesempatan yang dimiliki perusahaan.
Untuk membiasakan karyawan baru beradaptasi dengan ciri khas lingkungan perusahaan juga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tetap ada tantangan tersendiri yang dilalui oleh perusahaan dalam kondisi demikian.
Bukankah antara Perusahaan dan Pekerja Saling Membutuhkan dalam Simbiosis Mutualisme?
Pertanyaan diatas menjadi sesuatu hal yang mungkin terlontar oleh semua orang yang telah merenungi fenomena toksik yang terjadi di dunia kerja ini.
Ketika pekerja melakukan quiet quitting artinya pekerja membenci iklim tempatnya bekerja. Kemudian pihak perusahaan membalas dengan mendiamkan dan seolah-olah menganggap pekerja tersebut sudah kehilangan "ruh" sebagai manusia pejuang.
Selayaknya sedari awal segala hal yang dapat menimbulkan tindakan quiet quitting dan quiet firing harus dihindari sebisa dan sesegera mungkin.