Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ada 4 Analisis bagi Perusahaan Terkait RUU KIA dan Pemberian Cuti Melahirkan 6 Bulan

23 Juni 2022   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2022   20:09 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kehamilan juga merupakan salah satu jenis stres fisik. Oleh karena itu, seorang ibu bekerja memerlukan cuti melahirkan. Sesuai draf RUU KIA, cuti melahirkan direcanakan 6 bulan lamanya. Foto: Shutterstock/Natalia Deriabina via Kompas.com

Saat ini, DPR tengah menggodok dan menyiapkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang akan disahkan nantinya menjadi sebuah undang-undang (UU).

Dalam draf RUU KIA ini disebutkan bahwa bagi ibu yang akan melahirkan akan diberi masa cuti selama 6 bulan lamanya. 

Bersamaan dengan masa cuti untuk ibu melahirkan, ayah atau suaminya juga akan diberi masa cuti selama 40 hari untuk menemani sang istri saat pra dan pasca persalinan ini.

Jika RUU KIA ini nanti sempat disahkan dan bisa menjadi sebuah undang-undang maka kita patut mengapresiasi kinerjanya.

Undang-undang kesejahteraan ibu dan anak ini memang sudah sangat dinanti-nantikan oleh masayarakat khususnya para pekerja terutama karyawati atau wanita yang berkarir.

Walaupun ada sedikit pro dan kontra, namun kami menilai aturan ini demi kebaikan semua pihak.

Mengapa kami katakan seperti itu? Karena sebenarnya antara pekerja dan perusahaan sama-sama saling membutuhkan atau simbiosis mutualisme.

Pekerja membutuhkan perusahaan sebagai wadah mencari penghasilan. sedangkan perusahaan membutuhkan pekerja untuk keberlangsungan perusahaannya.

Antara perusahaan dan pekerja sejatinya berpegangan pada asas saling bekerja sama dan mendukung satu sama lain. seharusnya seperti itu.

Pemberian masa cuti melahirkan selama 6 bulan bukan sekedar basa-basi dan sensasi. memang itulah yang dibutuhkan bagi seorang wanita yang telah bekerja memforsir tenaga, pikiran dan segenap daya dan upayanya demi perusahaan yang telah dijalankan selama ini.

Lalu, ketika pekerja wanita diharuskan cuti karna melahirkan mengapa perusahaan harus melarangnya dan berat hati?

Hal ini wajar lantaran yang namanya perusahaan yang ada dalam prinsipnya hanyalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa kami tawarkan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan agar menyepakati aturan ini.

Ilustrasi pekerja perempuan yang hamil sambil masih terus bekerja jelang melahirkan (via klikdokter.com)
Ilustrasi pekerja perempuan yang hamil sambil masih terus bekerja jelang melahirkan (via klikdokter.com)

1. Merekrut pekerja wanita adalah sebuah tantangan yang takkan bisa dielakkan

Bagi masyarakat awam yang kontra dengan aturan pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan ini dan sangat menyayangkan nasib dan dilematis yang dirasakan oleh perusahaan. 

Seharusnya dinilai dan dicermati ulang dulu apakah perusahaan nantinya memang akan enggan untuk merekrut perempuan? Kami rasa tidak juga.

Lantaran keberadaan perempuan adalah sebuah keniscayaan dan terkadang tidak bisa digantikan oleh pekerja pria. 

Sebut saja, misalkan profesi bidan. apakah ada laki-laki yang menjadi bidan? Laki-laki yang jadi dokter kandungan memang sudah banyak. 

Tapi tetap saja selama yang kami tahu di rumah sakit dokter kandungan lelaki yang menentukan langkah penangan bagi pasien yang akan melahirkan, namun yang membantu dan menjalankan segala macam hal teknisnya tetap perempuan yang pada sistem rekrtutan menduduki posisi berlatar belakang profesi bidan.

Coba kita menengok fenomena yang terjadi di perusahaan-perusahaan atau pabrik yang ada saat ini. Hampir semuanya dipenuhi oleh karyawati. 

Kuantitas pekerja perempuan di sebuah tempat bekerja dimanapun berada, saat ini sudah didominasi oleh karyawati atau pekerja perempuan.

2. Pekerja perempuan punya banyak keunggulan

Ketika perusahaan merekrut pekerja perempuan, hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. selama ini yang kita tahu bahwa perempuan biasanya lebih ulet, lebih sabar, lebih fokus, dan lebih rajin dibanding laki-laki. 

Pekerjaan-pekerjaan yang sering membuat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan bagi kaum pria, tidak begitu dirasakan oleh pekerja perempuan. Perempuan biasanya lebih teliti dan tidak terlalu ceroboh jika dibandingkan dengan kaum pria. 

Oleh sebab itulah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi perusahaan untuk merekrut perempuan.

3. Proses perekrutan ulang akan memberikan banyak kerugian bagi perusahaan

Ketika perusahaan tidak sabar menunggu pekerja perempuan untuk kembali bekerja, lalu kemudian melakukan proses rekrutmen ulang.

Sebenarnya hal itu malah akan memperbesar kerugian perusahaan. Mencari pekerja yang dapat menjalankan visi dan misi perusahaan adalah sebuah tantangan tersendiri bagi perusahaan. 

Dalam proses rekrutmen ulang ini perusahaan akan kembali mengalokasikan sumber daya dari segi waktu, tenaga, biaya dan lainnya.

Menuntut pekerja baru untuk sama levelnya dengan pekerja perempuan tadi bukanlah semudah membalikkan telapak tangan lantaran akan membutuhkan proses pendampingan, evaluasi kinerja, pemberian pelatihan dan bimbingan teknis, serta semua hal yang diperlukan guna menjadikan seorang pekerja sesuai dengan kriteria yang sangat diharapkan oleh perusahaan.

Disamping itu, intensitas siklus perpindahan orang atau pekerja di perusahaan dapat mengganggu kestabilan dan kerahasiaan suatu perusahaan. Orang-orang jadi gampang menilai baik-buruk dan sisi positif-negatif sebuah perusahaan. dan hal ini tak baik bagi perusahaan karena bisa mempengaruhi citra dan “harga diri” sebuah perusahaan.

4. Bagaimana dengan work from home (WFH)?

Apakah opsi WFH bisa dijalankan oleh pekerja perempuan selama menjalani masa cuti pasca melahirkan? Kami rasa sangat bisa diterapkan. 

Berkaca pada pengalaman yang kami amati ketika dulu sempat bekerja di sebuah perusahaan. Dimana ada suatu ketika atasan langsung kami yang menduduki posisi sebagai operational head (OH) harus cuti karena akan melahirkan. 

Maka selama ia cuti, kami yang sebagai bawahannya sebisa mungkin akan meng-handle pekerjaan dan tugasnya selama ini. Ketika kami sudah tidak bisa meng-handle maka OH kami tadi dapat mengarahkan dari rumah.

Pada opsi yang keempat ini sangat relevan karena selama ini kita sudah terbiasa dengan pola WFH dikarenakan faktor pandemi yang melatar belakangi. 

Jika selama ini awalnya kita syok karena WFH bukan sesuatu yang lumrah dilakukan namun ketika kondisi yang mengharuskan hal itu untuk dilakukan akhirnya kita semua pun dapat memaklumi itu semua dengan wajar. 

Kami rasa diawal penerapan aturan ini mungkin akan terasa canggung bagi perusahaan maupun masyarakat yang kontra. 

Namun seiring berjalannya waktu, aturan ini pasti akan dianggap sebuah solusi yang sangat berarti apalagi ketika harus berada dalam posisi seperti itu.

Contoh seorang istri yang bekerja ketika cuti untuk melahirkan (Foto Akbar Pitopang)
Contoh seorang istri yang bekerja ketika cuti untuk melahirkan (Foto Akbar Pitopang)
Dari keempat masukan yang dipaparkan diatas, maka hendaklah perusahaan dapat menjadikannya sebagai bahan pertimbangan demi kelangsungan eksistensi sebuah perusahaan dapat berotasi sebagaimana mestinya.

Oleh sebab itu, maka perusahaan sudah sepantasnya untuk menyepakati aturan ini.

Melahirkan adalah kodrat perempuan yang tak bisa dielakkan. Jika perempuan bisa memilih dan berisiko jika harus segera bekerja pasca melahirkan, maka kami rasa semua perempuan mau dan rela melakukannya.

Namun sayang sekali, pemulihan pasca melahirkan bagi seorang perempuan membutuhkan waktu yang lama. Baik pemulihan kondisi fisik maupun mental atau psikis.

Penulis sendiri memiliki pengalaman dan catatan tersendiri pada saat istri melahirkan dan hak cuti melahirkan yang ia peroleh dari tempat ia bekerja.

Saat itu istri melahirkan secara operasi caesar. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar mulai dari awal hingga habisnya masa cuti melahirkan selama 3 bulan.

Ya, masa cuti melahirkan yang diperoleh istri hanya selama 3 bulan. Dimulai kalau tidak salah 10 hari pra melahirkan atau hari perkiraan lahir (HPL).

Karena istri melahirkan secara operasi caesar, maka akan membutuhkan banyak waktu untuk proses pemulihan. 

Masa cuti selama 3 bulan bukanlah masa waktu yang lama. Tak terasa masa cuti melahirkan selama 3 bulan sudah habis dan istri harus kembali bekerja. 

Untunglah proses pemulihan atau penyembuhan luka pasca operasi caesar dapat berjalan dengan baik. Sehingga istri dapat lebih cepat mempersiapkan diri untuk kembali masuk bekerja. 

Setelah kembali bekerja, kondisi itu sangat mempengaruhi kualitas ASI untuk sisa masa 3 bulan pemberian ASI eksklusif pada bayi.

Kondisi ASI menjadi berkurang baik kuantitas maupun kualitasnya. padahal bayi sebisa mungkin harus diberikan asi ekslusif selama 6 bulan awal pasca melahirkan.

Dibandingkan dengan kondisi istri yang bisa dikatakan tidak terlalu banyak mengalami kendala dan rintangan selama memanfaatkan waktu cuti melahirkan ini. kondisi serupa belum tentu juga dialami oleh ibu atau pekerja perempuan diluar sana.

Proses pemulihan kondisi fisik dan mental oleh seorang ibu atau istri pasca melahirkan tidaklah sama antar satu sama lain.

Maka kami rasa alokasi masa cuti melahirkan yang diberikan selama 6 bulan kami rasa sangat pas dan pantas diberikan.

Untuk mendukung argumen kami terkait desakan pengesahan RUU KIA dan pemberian masa cuti melahirkan selama 6 bulan bagi pekerja perempuan yang akan melahirkan, perlu kita mengintrospeksi kejadian atau kasus yang menimpa seorang ibu pasca melahirkan.

Rekan kami sesama satu profesi beda instansi mengalami hal yang sangat disayangkan dimana ia meninggal dunia pasca melahirkan. 

Diduga karena tuntutan pekerjaan, membuat ia terpaksa harus masuk bekerja lebih awal. Memang atas kemauannya sendiri. Tapi karena rasa loyalitas yang tinggi tersebut berakibat fatal pada kondisi dan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Karena tingkat stress yang tinggi dan besarnya tekanan di tempat bekerja, ditambah dengan komplikasi penyakit bawaan yang selama ini telah bersarang di dalam tubuhnya. 

Pada akhirnya kondisi tersebut membuatnya drop dan ajal pun menjemput. Sebuah ironi dan sangat disayangkan sekali hal seperti itu harus menimpa seorang ibu pasca melahirkan.

Mungkin dengan beberapa analisis dan pertimbangan diatas bisa dijadikan bahan evaluasi bagi perusahaan. 

Semoga dapat membuka hati pihak perusahaan dan menyepakati aturan dalam UU KIA yang hendak akan disahkan.

Salam berbagi dan menginspirasi.

[Akbar Pitopang]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun