Mohon tunggu...
Rahmad Agus Koto
Rahmad Agus Koto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Generalist

Aku? Aku gak mau bilang aku bukan siapa siapa. Terlalu klise. Tidak besar memang, melalui niat dan usaha, aku selalu meyakini bahwa aku selalunya memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimanapun aku berada.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengurai Opini Rasis Prof. Budi Santosa Purwokartiko

9 Mei 2022   07:55 Diperbarui: 9 Mei 2022   08:14 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika pertama kali membaca postingan Prof Budi Santosa Purwokartiko yang bernada rasis sekitar satu minggu yang lalu, saya langsung mengambil sikap tenang dan hati-hati. Jelas emosi agak terpancing karenanya, karena isi postingan tersebut sifatnya merendahkan umat Islam dan berpotensi membahayakan sistem pendidikan serta tatanan sosial-budaya di negara kita yang selama ini sudah dibangun dengan cukup baik.

Setelah mengamati kasus ini dari berbagai sisi dalam satu minggu terakhir, sayapun memutuskan untuk membagikan opiniku.

Pertama-tama, tulisan tersebut ternyata benar dibuat olehnya dan status postingan facebooknya tersebut, publik. Sampai saat ini, saya belum mengetahui siapa yang pertama kali membuat screenshot dan menyebarkannya.

Mengapa peristiwa ini viral? 

Tentunya kita mahfum, hal itu terutama dikarenakan beliau bukan orang biasa. Sosok yang mempunyai pengaruh yang relatif besar bagi masyarakat umum. Memiliki gelar pendidikan yang tinggi, posisi jabatannya sebagai rektor di kampus Institut Teknologi Kalimantan dan reviewer Dikti-LPDP.

Setelah menelaah tulisan utuh BSP tersebut berulangkali, saya menyimpulkan bahwa opininya memang sangat rasis.

Berikut ini argumen untuk simpulanku.

***

Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri.

Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa.

Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.

Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9.

Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9.

Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.

Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya.

Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.

Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang.

Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun.

Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.

Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang membuat hal yang mudah jadi sulit.

~ Budi Santosa Purwokartika

***

Masalah mulai muncul ketika ia menuliskan "Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo". Sebelum dan sesudah tulisan ini, menyindir mahasiswa yang "hobi demo", menyiratkan bahwa mereka bodoh, biasa saja atau tidak sehebat mahasiswa/i yang diwawancarainya.

Tulisan yang ini memang sulit diuraikan karena ada benarnya bahwa mahasiswa yang "hobi" dengan demo, prestasi akademiknya mungkin saja lemah karena kebanyakan demo. Pun tidak menutup kemungkinan walaupun hobi demo tapi meraih prestasi akademik yang hebat karena pintar mengatur waktu kegiatannya.

Masalah besarnya dimulai dari sini,

A. [Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya.]

B. [Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.]

Pesan dalam tulisan A, pada prinsipnya bagus. Yaa itu, karena "membumi", tidak mengawang-awang, memberikan kemanfaatan yang real bagi dirinya dan orang lain.

Nah, tulisan B ini yang merusak kebagusan pesan dalam tulisan A. Memperlihatkan sudut pandangnya atau ketidaksukaannya terhadap kebiasaan umat Islam yang dianjurkan oleh para ulama. Di postingan yang lain, BSP ada juga merendahkan perempuan yang gak mau salaman dengan orang yang bukan muhrimnya karena hal tersebut melanggar syariat agama yang diyakininya.

C. [Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun.]

D. [Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.]

Kesalahan terbesarnya ada dalam tulisan C ini, "tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun".

Walaupun tidak harfiah, jelas sekali yang dimaksudkannya dengan "tidak satupun menutup kepala" adalah perempuan atau para mahasiswi yang menutup kepala dengan jilbab atau kerudung untuk menyembunyikan rambut yang merupakan aurat perempuan, yang kemudian dipertegas dengan "ala manusia gurun", yang sekaligus mengindikasikan ketidaksukaannya terhadap negara-negara di jazirah Arab dimana agama Islam berasal.

Okelah, ada sebagian ulama yang tidak menganggap rambut sebagai aurat yang harus ditutupi. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa BSP telah menyerang satu golongan.

Tulisan C, diperparah oleh tulisan D.

Mengarahkan logika bahwa otak orang-orang yang menutup kepala tidak benar-benar openmind dan orang-orang di negara-negara jazirah Arab sebagai orang-orang yang "pandai bercerita tanpa karya teknologi".

Padahal pondasi IPTEK banyak yang berasal dari jazirah Arab. Seperti aljabar, optik dan teknologi medis. Bahkan tidak sedikit ilmuwan/saintis modern yang ternama di dunia berasal dari sana. Terlalu banyak kalau saya sebutkan disini.

Klarifikasi BSP melalui wawancara dengan KaltimToday (KT) malah menjengkelkan, menyalahkan pihak lain alih-alih meminta maaf karena khilaf. Sebagian para pembelanya juga memberikan pembelaan yang maksa, mengada-ada.

KT: Bapak ada menyebut tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Pernyataan ini dinilai banyak pihak sebagai rasis dan xenopohbia, kebencian golongan tertentu. Bagaimana penjelasan bapak?

BSP: Ya itu tidak ada kebencian. Saya sebut manusia gurun karena kalau di gurun harus menutup badan ya, biar tidak kena panas, angin, debu, pasir. Manusia gurun kan tidak identik dengan suku atau agama tertentu.

Kok ya BSP mengalihkannya ke soal menutup badan karena panas, angin, debu, pasir??? Sangat bertentangan dengan tulisan opininya seperti yang sudah saya uraikan. Gak nyambung blas.

Benar bahwa manusia gurun tidak identik dengan suku atau agama tertentu, tapi kalu tulisannya dibaca secara utuh, jelas sekali yang dimaksudkannya adalah agama Islam yang memang berasal dari jazirah/gurun Arab.

Sebelumnya saya sama sekali tidak mengenal BSP. Sama sekali tidak ada unsur kebencian pribadi kepada beliau. Dari klarifikasinya yang saya baca di sejumlah postingan pembela beliau, saya malah condong percaya bahwa beliau pada dasarnya adalah orang yang baik. Banyak membantu atau memudahkan urusan mahasiswa/i dan kolega-koleganya. Banyak menyantuni kaum dhuafa.

Tulisan opininya yang kontroversial itu memang sangat mengherankan. Kok ya sosok bergelar akademis yang tinggi bisa mempublikasikan opini yang rendahan begitu.

Ada apa sebenarnya dengan Prof Budi Santosa Purwokartiko?

Dari berita terbaru, beliau sudah diberhentikan sementara sebagai reviewer Dikti-LPDP. Iya sementara, belum keputusan final karena menunggu hasil sidang kode etik oleh pihak yang berwenang.

Di berita yang lain, beliau juga sudah resmi dilaporkan ke pihak kepolisian. Banyak pihak yang menuntutnya supaya diproses hukum.

Berharap beliau mau menyadari, mengakui, meminta maaf dan bertanggungjawab atas kekhilafannya. Mengenai konsekuensi dihukum negara atau tidak, kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum dan semoga ditegakkan secara adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun