Benar saja saat dia makan siang dirumah, dengan hidangan spesial yang aku sajikan, dia memuji dan menyanjungku. Dengan keterbatasane penglihatanku, dia menganggap sayur lodeh yang aku masak lebih enak dari sayur lodeh yang kami makan direstoran.
"Aini, tidak salah mas ajak kamu makan di restoran tempo hari"
"Dengan memahami filosofi sayur lodeh, ternyata kamu memasaknya dengan penuh cinta"
"Sayur lodeh buatan kamu jauh lebih enak dari yang kemarin"
Aku sangat tersanjung dengan pujiannya, itulah kenapa aku menganggap Bimo sebagai mataku. Dan Tuhan sangat tahu itu, sehingga akhirnya mata Bimo pun diperuntukkan-Nya padaku.Â
Sekarang aku bisa melihat dunia dengan mata Bimo, Bimo selalu hadir didalam diriku, dia akan menuntun kemanapun aku pergi.
Dari filosofi sayur lodeh yang begitu sederhana, aku diajarkannya untuk tidak silau pada dunia.Â
Racun dunia menurut Bimo sangat menyesatkan, aku harus memiliki penawarnya seperti santan yang disimbolkan dalam sayur lodeh sebagai penawar racun. Tadinya aku berharap Bimo adalah penawar racun dalam hidupku, tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.
Hidup harus terus berjalan ada Bimo atau pun tidak. Itulah cara aku untuk meneguhkan hati, agar tetap kuat menghadapi berbagai cobaan hidup. Tanpa penglihatan aku sudah bisa buktikan bisa hidup selama ini, dan mampu melalui berbagai rintangan. Sekarang aku sudah bisa melihat, harusnya aku bisa lebih siap menghadapi berbagai tantangan.
Saat aku belum bisa melihat, Bimo banyak memberikan motivasi agar aku selalu kuat menghadapi cobaan-Nya, karena dalam setiap cobaan selalu ada rencana yang baik bagi kita. Selalu ber husnudzon terhadap Tuhan, karena tidak ada yang sia-sia dari setiap rencana-Nya.Â
Begitulah Bimo selalu mengingatkan.
Suatu ketika aku pernah mengeluh pada Bimo, bahwa banyak perusahaan sangat diskriminatif terhadap kaum disable, seakan-akan kaum disable akan menjadi beban. Dengan sangat enteng Bimo bisa memberikan jawaban yang sangat memotivasiku.
"Aini, kamu tidak perlu kecewa atas penolakan itu"