Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Administrasi - Mamanya Toby & Orlee

Pekerja yang nggak punya kerjaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia, Saat Sapaan Berujung Cibiran

15 Maret 2020   23:42 Diperbarui: 16 Maret 2020   01:09 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keepcalmandposters.com

"Maaf mbak, toilet di mana ya?"

"Mbak? Kapan gue kawin sama mas lu?"


"Maaf tante, tahu alamat ini?"

"Emang saya tua banget ya sampai dipanggil tante?"


"Bang, mau ke Bekasi naik yang jurusan mana, ya?"

"Bang...bang...bang, emang gue tukang bakso?"

Sering nggak sih ketemu orang yang sedemikian rupa? Atau mungkin anda-anda salah satu dari orang-orang itu? Hehehe

Sebenarnya ini sih bukan masalah besar, akan tetapi ini cukup menyita perhatian saya. (Ya, memang saya adalah salah satu pemerhati dan perhatian pada masalah-masalah receh yang beredar di Indonesia :P )

Di tulisan receh saya kali ini saya mau membahas tentang 2 hal :

1.Sapaan yang dianggap membuat kita merasa lebih tua dari usia kita

2.Sapaan yang membuat kita merasa risih karena bukan berdasarkan suku kita

Sebagai perempuan yang mewarisi dan dididik dengan adat Jawa, kedua orang tua saya mewajibkan saya dan adik-adik menggunakan sapaan yang berarti "kakak" atau "lebih tua dari kita" (semisal ibu-bapak, om-tante, mbak-mas, dll) untuk disematkan pada orang-orang yang kami kenal. Dengan maksud untuk menghargai ybs.

Sekalipun dia bukan orang Jawa, saya harus memanggil orang tsb dengan sapaan sesuai sukunya. Misal uni/uda untuk orang Minang, teteh/aa'/akang untuk orang Sunda, abang/kakak untuk orang Sumatera. Dan mayoritas tidak merasa keberatan dengan panggilan itu.

Tapi bukan berarti nggak ada yang menunjukkan keberatan mereka dengan minta dipanggil nama saja. Bahkan ada yang minta dipanggil dengan sapaan yang lebih pantas disematkan untuk yang usianya lebih muda dari dia.

Di lingkungan pekerjaan saya misalnya.

Ada salah satu karyawan yang usianya 28 tahun. Usianya di bawah saya. Tapi dia lebih dulu bekerja di kantor itu. Sebagai bentuk rasa hormat, hari pertama saya masuk, saya panggil dia dengan sapaan "mbak". 

Ternyata dia menolak dengan jawaban yang buat saya sih bisa-bisa saja menyinggung masalah kesukuan di Indonesia. "Jangan mbak lah, emangnya aku orang Jawa?" Kayaknya mau saya sumpel mulutnya pakai Gudeg basi. Kwkwkwkwwk. 

Akhirnya saya minta maaflah, ya. Walaupun saya nggak tahu apa sebegitu bermasalahnya saya panggil dia "mbak". Because why??? Setelah kejadian itu ekspresi wajahnya langsung seperti orang habis kena Warning Letter. Semacam kehilangan mood untuk ngobrol.

Akhirnya saya panggil dia "Kak". Untuk mendinginkan situasi dan kondisi yang kelihatan agak memanas. Dan ekspresinya berubah seketika. Mulailah dia menunjukkan sisi ramahnya dia, walaupun itu nggak mengubah mood saya yang juga jadi bte karena sikapnya.

Ada lagi yang dipanggil "bang" dan langsung mengasumsikan "Tampang gue kayak tukang bakso ya sampai bisa dipanggil bang?" Astaga, apa panggilan yang sebenarnya adalah bentuk menghargai itu kedengarannya bikin kalian sampai merasa bagaimana? Tampang tukang bakso itu kayak gimana, sih? Coba cek di Google, Tukang bakso mirip James Bond, tukang bakso mirip Dude Herlino. Bahkan mereka lebih tenar ketimbang elu yang ogah dimiripin sama mereka. KZL!   

Ada pula salah satu teman saya di media sosial, sebuat saja namanya Anu. Saya kerap membaca postingannya yang menyebutkan bahwa Valentine, Halloween, Prom Night Party adalah #bukanbudayakita.

Menurut dia dan segenap komentator-komentator yang mendukungnya, kebanyakan dari kita itu terlalu mengikuti budaya kebarat-baratan kalau sampai ikut merayakan. Pernah dia berkomentar di salah satu update status saya soal Halloween. Dia bilang "Di Indonesia nggak ada Halloween Party, adanya main Jalangkung. Situ makan nasi apa roti sih?" Betapa Julidnya dia, kan?

Pada dasarnya saya suka horror, sejak SD sampai setua bangka ini, dan otomatis saya jadi semangat dengan perayaan Halloween itu. Tapi itupun hanya sekedar status Facebook, karena saya juga bingung mau ngajak teman yang mana untuk bikin Halloween Party. Wong saya suruh baca fiksi horror saya aja mereka ogah. Hikz..

Saya jadi ingat awal mula berkawan sama orang itu, saya panggil dia bang dan dia jawab "Panggil nama aja, jangan pake abang/mas. Kaku banget, lu!" Saya jadi mikir, bukankah sapaan semacam itu adalah salah satu budaya kita? Itu bentuk rasa hormat, bukan penghinaan. Akhirnya saya penasaran, teman saya itu sebenarnya orientasi budayanya kemana? Hehehehe.

Saya juga sempat menonton video yang baru-baru ini cukup viral di Facebook tentang seorang wanita  penumpang kereta  yang dari tampilannya memang tidak muda, tapi mendadak emosi pada penumpang lain lantaran dirinya dipanggil nenek.

Cek video di sini ----- https://www.youtube.com/watch?v=K5usWQaZetI

Kronologisnya :

Perempuan belia: "Bu, jangan ngajak ribut dong!"

Ibuk: "Kamu itu yang mulai duluan!"

Perempuan Belia: "Saya cuma salah manggil aja,"

Ibuk: "Sopan kali bahasamu, kenapa kau panggil aku nenek. Apa aku nenekmu?"

Perempuan Belia: "Saya cuma mau nawarin, nenek mau duduk dekat sama cucunya atau bukan?"

Ibuk: "Memangnya itu cucu siapa?"

Perempuan Belia: "Kan saya nanya?"

Ibuk: "Kau bilang nenek-nenek, saya tersinggunglah!"

Ada rasa mau ketawa, sedih, tapi ya khawatir juga. Apakah dengan dipanggil nenek rasanya akhirat sudah dekat? Atau bayangan tentang keriput di wajah memenuhi seluruh isi kepala? Masyarakat Indonesia benar-benar terdampak krisis kepercayaan diri.

Bolehlah kita menolak tua, bahkan dalam dunia psikologi juga disarankan demikian dengan berbagai alasan. Salah satunya dengan merasa selalu muda bisa mengurangi risiko depresi. Tapi ingat, jangan pula keterlaluan menolaknya. Jangan merasa kita jadi jelek dan dipermalukan jika dipanggil dengan sapaan yang sebenarnya sangat lumrah disematkan pada kita dari segi usia.  

Indonesia itu kaya akan adat -- istiadat dan budaya, norma kesopanan dan kesusilaan adalah identitas bangsa kita. Itu yang saya tahu dan saya pelajari dari keluarga dan guru-guru saya.

Seiring berjalannya waktu, usia yang bertambah membuat kita mendapat perlakuan yang sedikit berbeda. Terutama dari mereka yang lebih muda. Sapaan-sapaan sebagai bentuk penghormatan muncul tanpa aba-aba. Itu lumrah. Jangan lantas mendadak merasa terhina. Lihat semua dari sisi positifnya. Biarkan orang lain memberi sapaan pada kita sebagai bentuk rasa hormatnya. Sejauh itu bukan dibuat-buat dengan alasan "lain".

Lebih bijak dalam menghadapi keberagaman manusia di hadapan kita bukan sesuatu yang salah. Jika tidak merugikan kenapa harus membuat penolakan yang membuat orang lain kebingungan?!  

salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun