Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Administrasi - Mamanya Toby & Orlee

Pekerja yang nggak punya kerjaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Corona: Selamat Jalan Ibu!

9 Maret 2020   21:13 Diperbarui: 9 Maret 2020   21:25 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengurus pemakaman ibu tiriku di komplek pemakaman mewah, satu cluster dengan ayah. Banyak pengusaha juga rekan sosialitanya yang hadir namun menatapku penuh rasa heran. Baru kali ini mereka melihatku, karena selama ini ibu menyimpanku baik-baik sebagai rahasia terburuknya. Ada yang mengira aku sekedar keponakan atau bahkan hanya seorang pesuruh yang dipercayakan mengurus pemakamannya ini. Tapi aku tidak peduli. Yang aku tahu, tugasnya di dunia sudah selesai, begitupun juga tugasku.

---1---

Ramai-ramai orang meributkan tentang langkanya masker di pasaran akibat virus mematikan itu. Sekalipun ada, harganya menjulang hampir tak tergapai mereka yang ingin terhindar dari virus itu namun daya beli yang lemah. Banyak update status dari kawan-kawanku di media sosial yang menghardik kondisi ini, sampai-sampai pemerintah dipersalahkan. Entahlah, semua menjadi semakin terlihat absurd di mataku.

Ibu yang sangat rajin menonton siaran berita di televisi ikut-ikutan meracaukan apa yang dikabarkan sore ini.

"Lihat, dunia sebentar lagi akan hancur. Semua orang kalang kabut mencari keberadaan masker murah. Langkanya mirip tabung gas melon atau sembako saat musim kering. Atau BBM saat harga minyak dunia naik."

Aku hanya mendengarkan ucapan ibu tanpa ada rasa sepakat sama sekali. Dia bukan peduli, dia mencemooh dengan caranya. Aku kenal siapa ibuku. Ibu sambungku.

Produsen kewalahan dengan permintaan pasar, distributor mulai panik karena periuk di meja makan mereka mulai kosong karena tak tahu lagi mencari dimana barang langka itu. Para konsumen merasa kiamat sudah dekat karena barang yang mereka cari sudah tak lagi tersisa stoknya. Jika mau, harap menunggu. Sementara virus itu mendesak masuk tanpa peduli waktu. Lalu kemana larinya masker-masker itu saat ini? Dijadikan lauk makan setiap hari? Atau dibakar sebelum sampai di tangan yang membutuhkan?

Sesungguhnya aku ingin sekali peduli tentang hal itu. Namun siapa yang pernah peduli padaku? Ibu saja tidak mau tahu. Sudah lama aku tidak pernah berbagi rasa dengan siapapun, sekalipun dengan ibu. Satu-satunya orang tua yang kumiliki.  Ayah mati dengan menyisakan banyak harta. Ibu menikmatinya bahkan tak ada setetes pun airmata karena kepergian suaminya.

Ibu kandungku sudah lama meninggal dunia, tepatnya saat usiaku satu tahun. Kemudian ayah menikahi ibu sambungku ini. Sejak kecil aku tak boleh bergaul dengan siapapun. Aku mendapatkan pendidikan dari home schooling. Aku pernah menceritakan pada guruku betapa aku tersiksa dengan kehidupanku yang seperti ini. Tapi guruku pun tak bisa berbuat banyak. Dia pernah mencuri kesempatan untuk mengajakku ke mall saat ibuku liburan keluar negeri. Tapi ada pembantu usil yang menginformasikan hal itu pada ibu. Ibu pulang ke ke Indonesia dan menumpahkan semua emosinya padaku, juga guruku. Ibu membiarkanku menghabiskan banyak uang untuk membeli apapun yang aku mau. Tapi aku tidak boleh berhubungan dengan orang luar. Gila. Mana mungkin?  

Entah sudah berapa banyak luka di tubuhku karena perlakuannya. Tapi aku tak bisa melakukan apapun. Siapa yang peduli padaku.

Tapi aku masih memiliki sedikit kabar baik dari pengacara ayahku. Saat usiaku genap 25 tahun, semua harta ayah akan jatuh ke tanganku secara otomatis. Ya, minimal itu keberuntungan yang sebentar lagi ada dalam genggaman.

90 hari yang lalu...

Aku berkenalan dengan salah seorang teman, dia baik padaku. Kami belum pernah saling bertemu. Hubungan kami hanya sebatas dunia maya. Mulanya dia adalah salah seorang pembaca blog-ku. Aku pernah membuat blog pribadi. Aku menuliskan banyak hal tentang hidupku. Lagi-lagi ibu mengetahuinya dan dia memintaku menghapus blog-ku itu.

Kemudian teman mayaku itu coba menghubungiku melalui email karena dia sudah tidak lagi dapat mengakses tulisan-tulisanku. Dia tahu bahwa aku benar-benar kesepian. Dia sangat peduli akan penderitaanku. Dia selalu ingin aku baik-baik saja.

Aku mengenalnya dengan nama Bill. Kurasa dia seorang laki-laki. Kami hanya berkomunikasi melalui email. Bill punya kekecewaan yang sama denganku. Kecewa pada keluarga dan dunia.

Beruntungnya aku memiliki Bill, dia yang mengabarkan padaku bahwa akan ada virus mematikan yang mampu menggemparkan masyarakat dunia. Aku terkagum-kagum dengan segala hal yang dia tahu.

"Hi, kau tahu? Ada sesuatu yang mengancam dunia ini."

"Apa?"

"Corona."

"Lantas? Kau khawatir?"

"Ya, aku khawatir jika tidak bisa memanfaatkan kepanikan dunia semacam ini."

"Apa maksudmu?"

"Kau akan tahu. Jaga dirimu."

Setelah itu selama hampir 2 minggu, aku dan Bill tak lagi berkomunikasi. Dia sama sekali tak menjawab email-ku. Bahkan dia tak mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Hei, Bill, aku 25 tahun sekarang!

Aku pasrah, mungkin Bill juga akan meninggalkanku seperti mendiang ibu dan ayah.

3 minggu berlalu, dari ponselku terlihat ada notifikasi email masuk. Ah, Bill.

"Maaf, aku baru bisa memberimu kabar. Aku mendapatkan sesuatu yang besar."

"Apa maksudmu? Bagaimana kabarmu?"

"Kabarku semakin baik, kau hubungi nomor 0xx231xx666 sebut saja kau kawanku. Dia akan memberitahukanmu sesuatu."

Kuikuti sarannya. Aku menghubungi nomor itu. Ternyata suara seorang perempuan di ujung sambungan telepon. Namanya Sarah, katanya. Dia mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir bahwa inilah kebahagiaan yang seutuhnya. Tapi kupikir ini adalah ideku dan Bill, kami pernah membahasanya di salah satu email.

Okay, Senin pagi aku akan menjumpai Sarah di sebuah restoran di salah satu hotel bintang lima, sesuai arahannya. Aku harus berbohong pada ibu dan mengatakan aku hanya ingin membeli sesuatu di mall dan langsung kembali ke rumah. Sesungguhnya aku berharap ada Bill bersama kami, tapi tidak. Kami hanya berdua.

Sarah memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. Dia melihat masker yang kupakai. Aku rasa dia penasaran.

"Kau takut jika ibumu tahu bahwa kau bertemu dengan seseorang di luar rumah?" tanyanya.

"Dia takut orang lain melihatku dengan cacat yang kubawa sejak lahir. Bibirku sumbing." Balasku dengan napas yang agak sesak, tanpa membuka maskerku sama sekali.

"Ok, baiklah. Lantas bagaimana dengan rencana yang kukatakan kemarin?"

Aku terdiam sejenak. Aku berusaha meyakinkan diri atas kegilaan ini. Tapi aku harus melakukannya. Hanya untuk mengejar dua kata, puas dan bahagia.

 Aku mengeluarkan sebuah cek dari dalam tas. Kutuliskan sejumlah nominal lalu kuserahkan padanya. Sekarang aku bisa menggunakan tanda tanganku untuk banyak hal yang menyenangkan, termasuk untuk yang satu ini.

"Cukup?"

"Ya, sejauh ini cukup."

Kami pun berpisah setelahnya. Entah kemana perginya perempuan itu. Aku percaya padanya seperti aku percaya pada Bill.

-----2------

Ibu tiriku sedang berada di Korea, ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Kemarin dia agak memaksa untuk berangkat karena ini bukan bisnis main-main katanya. Keuntungan yang akan diraupnya lebih besar dari biasanya. Sekalipun wabah Corona mulai begitu menakutkan tapi sebagai anak jelas aku harus mendukung kepergiannya. Sangat mendukung.

Namun sepertinya Ibu agak berubah. Kudengar dari suaranya yang panik dalam sambungan telepon kami. Dia tak lagi mencemooh kondisi dunia. Ia mulai takut mati. Akhirnya...

"Bantu ibu mencari tiket. Sepertinya kondisi mulai tidak kondusif."

"Tiket? Apa aku tak salah dengar? Segala urusanmu sudah selesai?"

"Ibu ditipu, tidak ada bisnis di negara ini. Ibu harus pulang, semakin banyak orang yang mati di sini."

"Bagaimana bisa?"

"Lakukan saja apa yang ibu perintahkan!"

"Bukankah saat ini semua rute penerbangan memang ditutup? "

"Aku tak peduli, kau cari tiket, kau urus semuanya, atau tidak akan ada lagi kehidupan yang layak untukmu."

 "Kau selalu saja mengancam."dengusku.

"Jangan banyak berkomentar. Aku merasa ada yang aneh, akses bank atas namaku semua terblokir. Ini gila." Suara ibu tiriku terdengar panik. Dan aku hanya mampu tersenyum kecut.

Aku tak peduli dengan ocehannya. Kumatikan sambungan telepon saat itu juga. Aku menghubungi Sarah.

"Terima kasih, walaupun dia belum mati tapi aku puas dia bertahan di sana. Akan kukirimkan lagi sisa uangnya. Sesuai perjanjian kita, kembalikan dia kepadaku dalam keadaan tak bernyawa."  

-ALA-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun