Mohon tunggu...
Angelina R
Angelina R Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Negara Indonesia yang baik hati dan tidak sombong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah di dalam Kereta

28 Januari 2012   22:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melangkah menyusuri trotoar jalan menuju stasiun Manggarai dengan gontai ranselku terasa dua kali lebih berat. Matahari garang membakar, melahap dengan ganas ubun-ubun  orang-orang disekitar stasiun yang tampak tidak peduli dengan panas matahari. Mereka terus berkeliaran walau  panas itu menyengat ubun-ubun menciptakan pening yang menganggu. Aku melangkah dengan cepat ketika pintu stasiun Manggarai sudah terlihat. Lebih cepat masuk ke stasiun lebih baik. Sejujurnya aku sudah tak kuat lagi disengat panas matahari, entah mengapa dia begitu marah hari ini.

"Kereta mana yang lebih dulu datang untuk tujuan Pondok Cina, Pak?" Tanyaku ketika sampai di depan loket karcis kereta.

"Ekonomi dulu Mbak" Jawab Petugas karcis

"Keretanya sudah dimana,Pak?"

"Sebentar lagi masuk Cikini, Mbak"

"Kalo gitu saya beli satu" aku serahkan selembar uang dua ribu rupiah. Dengan cepat petugas  itu memberikan selembar karcis dan uang kembalian lima ratus riupiah.

"Terima kasih, Pak" kataku sebelum berlalu cepat menuju ke dalam ruang tunggu stasiun. Aku melangkah cepat masuk ke dalam ruang tunggu stasiun. Kata petugas penjual karcis, kereta itu sudah berada di Cikini stasiun sebelum Manggarai. Lima menit lagi, kereta itu akan sampai distasiun Manggrai.

"Perhatian di jalur enam dari arah utara, segera masuk kereta ekonomi menuju Bogor, berhenti di setiap stasiun. Perhatian di jalur enam  dari arah utara akan segera  masuk kereta ekonomi menuju Bogor" tidak sampai lima menit duduk di ruang tunggu kereta Suara petugas kereta memberitahukan kereta akan segera datang terdengar dari speaker yang terletak di setiap susut ruang tunggu. Dan benar saja kereta itu akhirnya muncul.

Aku segera melangkahkan kaki cepat ke dalam salah satu gerbong ketika kereta itu berhenti sejenak di manggarai. Beruntunglah keadaan kereta sepi, banyak tempat duduk yang kosong di dalam sana. Segera aku menuju sebuah bangku kosong yang terletak paling ujung di dekat pintu keluar, nyaman tercipta saat pantat dan bangku itu bersentuhan. Aku menaruh ranselku di pahaku mengapitnya erat. Blackberryku tersimpan rapi di saku ransel depan. Keinginan untuk menaruhnya didalam tas tiba-tiba membesar. "Ah biarlah tidak mungkin hilang" pikirku. Lagipula suasan kereta sepi jarang ada pencopet dan perampok. Kereta ekonomi memang dikenal sebagai sarang penjahat, sudah banyak kejadian orang dicopet atau dijambret dalam kereta ini dan syukurlah selama menjadi pengguna kereta ini tak sekalipun aku dicopet. Kereta terus melaju cepat menyusuri rel kereta.

Tiba di stasiun Tebet, seorang wanita muda melangkah ke dalam gerbong kereta. Wanita itu berjalan ke arahku dan duduk di bangku kosong di sampingku. Aku tersenyum padanya. Basa-basi

"Mbak, Stasiun pasar minggu baru kira-kira berapa stasiun lagi yah?" Tanya Wanita itu tiba-tiba. Ah jarang naik kereta rupanya

"Oh, tiga stasiun lagi, Mbak. Habis  Tebet nanti, ada Cawang, Kalibata dan Pasar Minggu Baru." Jawabku singkat, wanita itu tersenyum

"Terima kasih." Katanya, aku membalas senyumanannya dengan anggukan.

"Mbak, sudah sering naik kereta yah?" Tanya wanita itu lagi lebih akrab.

"Sering Mbak, setiap hari malah. Rumah saya di Jakarta Saya kuliah di Depok." Terangku

"Kalo saya sering naik kereta tetapi yang arah Bekasi, kalo ke arah Bogor baru kali ini."  kata wanita itu tanpa diminta, aku mengangguk-ngangguk lagi tanda merespon omongannya.

Kereta berjalan cepat menyusuri rel. Penjual segala jenis barang dari makanan minuman sampai racun tikus lalu lalang di dalam kereta. Mereka bersemangat menawari dagangannya. Selain sarang  kejahatan, kereta ekonomi juga sarang penjual.  Tiba-tiba muncul seorang anak kecil dengan muka lunglai menghampiri tempat kami duduk

"Mbak Mbak Mbak! Tolong, Mbak belum makan." kata anak kecil itu lemah, kupandangi anak kecil berusia tujuh tahun itu dengan iba, bajunya compang-camping tak beraturan. Segera kucari recehan lima ratus rupiahan di dalam saku tasku.

"Jangan dikasih, Mbak!" Wanita disebelahku tiba-tiba berbisik. Dia segera menggoyangkan tangannya ke kiri dan kanan tanda tidak ingin memberi kepada bocah malang itu.

"Tolong, Mbak. Saya belum makan." Pengemis kecil itu ngotot meminta. Mungkin dia tahu aku berniat memberi dia receh.

"Hush, sudah sana kamu pergi kami tak punya uang." kata perempuan di sebelahku tadi keras. Membuat beberpa penumpang menoleh kearah kami. Bocah pengemis itu menatap perempuan disebelahku dengan tatapan sulit dimengerti.

"Saya meminta pada, Mbak yang ini." Pengemis itu ngotot menunjukku

"Iya dia juga tak ada uang. Sana kau pergi!" Perempuan itu tiba-tiba marah

"Sudah-sudah, Maaf yah,  silahkan tinggalkan kami." Kataku akhirnya pusing melihat kedua orang itu tiba-tiba ribut menganggu penumpang kereta yang lain. Penegmis itu menatapku sejenak.

"Hati-hati sama perempuan ini, Mbak." katanya lalu berlalu.

"Eh kurang ajar! Dasar pengemis!" Maki wanita disampingku  geram

"Sudahlah Mbak, lagian tak apalah saya beri anak itu receh. Kasiahn dia kan." Kataku iba menatap punggung bocah pengemis yang menghilang ke gerbong yang lain.

"Jangan Mbak, itu sama saja Mbak mengajarkan kemalasan. Bayangin aja kalo setiap orang memberi uang kepada mereka sama seperti Mbak. Banyak sekali uang yang mereka dapat perhari kan?" jelas wanita itu kemudian

"Jangan mau ditipu tampang mereka yang kelihatan kurus dan tidak terurus itu, Mbak, mereka sengaja berpenampilan seperti itu untuk membuat kita mengasihani mereka. Mengemis itu sudah seperti pekerjaan bagi mereka. kalau Mbak memberi mereka uang sama saja Mba membuat Indonesia ini tambah malas" terang wanita itu lagi. Dia berbicara tanpa menyempatkan aku berpendapat, aku memilih diam, manggut-manggut tanda mengerti. Penjual segala macam barang masih terus lalu lalang di dalam kereta.

"Mbak tidak suka sama pengemis yah?" tanyaku. Wanita itu mengangguk

"Saya tidak suka orang-orang malas yang tidak bekerja seperti mereka, Mbak. Padahal banyak bisa dilakukan selain mengemis kalo tidak pulang saja kembali ke kampung halaman masing-masing. Kenapa mesti memenuhi Jakarta kalo kerjanya hanya ngemis dan ngegelandang tidak jelas?"

"Tapi bukan salah mereka jugalah, Mbak. Hidup si ibukota kan memang keras"

"Makanya saya bingung mereka masih bertahan di Ibukota ini. Pokoknya saya benci dengan mereka yang kerjanya cuma minta-minta itu Mbak" Terang wanita itu ngotot.

Aku hanya  mengangguk-ngangguk tanda setuju. Mungkin wanita ini menderita phobia pengemis atau apalah alasan lain dia membenci pengemis. Kereta terus melaju cepat menyusuri Rel. Hingga kemudian berhenti sejenak di stasiun Cawang

"Ngomong-ngomong ini sudah di stasiun mana yah, Mbak?'" tanya wanita itu tiba-tiba

"Stasiun Cawang Mbak" jawabku singkat

"Anu saya ini Phobia gelap, kata teman saya nanti di Cawang kita akan melewati lorongkan. Bisa ga saya memegang Mba nanti selama melewati lorong itu" katanya ragu-ragu. Aku menatap wanita itu prihatin, orang yang Phobia bisa pingsan. Aku berpikir sebentar. Ya sudahlah tidak masalah lorong itu tak panjang-panjang amat, hanya 30 detik. Apa salahnya seh di sentuh la wong sama-sama perempuan ini.

"Oh silahkan saja Mbak, Mbak bisa pegang tangan saya." Tawarku

"Terima kasih, Mbak." Ujar wanita itu tersenyum.

Ketika kami melewati Lorong gelap antara stasiun Cawang dengan Kalibata Wanita itu memegang lenganku kuat.

"Terima kasih yah, Mbak." katanya tersenyum manis ketika sudah melewati lorong itu kereta berhenti di Kalibata

"Kembali kasih, Mbak."Jawabku. Tiba-tiba wanita itu berdiri

"Lah, mau kemana Mbak? Bukanya Mbak turun di Pasar Minggu yah?" Aku bertanya bingung.

"Ga, Mbak. Saya turun di Kalibata saja." Katanya cepat lalu segera turun dari kereta  setangah berlari menghilang di stasiun Kalibata. Aku menatap wanita itu dari balik jendela kereta yang pelan-pelan sudah meninggalkan Kalibata. Kembali pedagang-pedangang lalu-lalang menawarkan dagangan. Tiba-tiba bocah pengemis yang tadi datang meminta pertama kali datang menghampiriku lagi.

"Mbak Mbak Mbak, saku ranselnya terbuka" kata pengemis itu menunjuk saku ranselku yang memang terbuka.  Aku menatap ransel yang terapit di dada dan mendapati sakunya dalam keadaan terbuka. Segera kuperiksa isinya dan menyadari Blackberryku yang tadi kuletakkan di situ hilang. Segera panik melanda diriku. Kuperiksa bagian dalam tasku berharap BBku ada di sana dan hasilnya nihil.

"Mbak, maaf tadi saya perhatikan perempuan yang duduk di sebelah Mbak merogoh saku ransel Mbak saat kereta berada di lorong gelap dari Cikini ke Kalibata. Sudah tiga kali saya melihat perempuan itu melakukan pencurian di kereta. Makanya tadi saya bilang hati-hati, Mbak" Lagi pengemis itu bersuara. Aku menatap Pengemis itu kaget dan curiga.

"Saya memang pengemis Mbak, tapi saya tidak berbohong apalagi mencuri" kata pengemis itu. Beradu pandang denganku sebentar. Ada kejujuran di matanya lalu kemudian berlalu meninggalkan aku sendiri yang terpekur. Mungkinkah perempuan itu yang mencurinya? Entahlah yang pasti tak kutemukan lagi Blackberyku di seluruh pelosok tasku.

TAMAT

Depok, 27 november 2011

Top of Form

Bottom of Form

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun