Mohon tunggu...
Aisiyah AndiniRahmasari
Aisiyah AndiniRahmasari Mohon Tunggu... Lainnya - Dini/Andini

Dini/Andini

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Langkah Bank Indonesia Tangani Nilai Tukar Rupiah di Tengah Kondisi Pandemi Covid-19

1 April 2020   16:29 Diperbarui: 1 April 2020   16:38 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Melihat kondisi perekonomian Indonesia yang menjadi dampak dari penyebaran virus corona atau COVID-19, Bank Indonesia memiliki beberapa langkah dari aspek kemanusiaan maupun ekonomi guna mengatasi dampaknya kepada masyarakat, UMKM maupun pelaku dunia usaha.

Koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal perlu dilakukan. Bersama dengan Kemenkeu, Bank Indonesia melakukan komunikasi dengan investor global terkait dengan perkembangan ekonomi di Indonesia melalui langkah stabilisasi moneter dan pasar keuangan. 

Bank Indonesia bersama OJK da pemerintah terus melakukan koordinasi terkait penyebaran COVID-19 yang dapat memberi dampak pada perekonomian Indonesia.

Langkah-langkah yang ditempuh Bank Indonesia yaitu penurunan suku bunga kebijakan, stabilisasi nilai tukar rupiah, injeksi likuiditas, mempermudah bekerjanya pasar uang dan pasar valas di luar negeri maupun dalam negeri, relaksasi ketentuan investor asing mengenai lindung nilai dan posisi devisa neto, pelonggaran makroprudensial supaya membuka pendanaan untuk eksportir, importir maupun UMKM.

Bank Indonesia juga menyatakan bahwa terjadi aliran modal asing yang keluar. Dengan jumlah yang cukup signifikan akibat dari penyebaran COVID-19. Hampir seluruh negara juga mengalami hal ini karena terjadi kepanikan para investor karena penyebaran virus yang dinilai cukup cepat. 

Sebelum adanya COVID-19 ini, pada awal tahun dikatahui bahwa terjadi inflow. Namun karena penyebaran virus tersebut sukup besar di Indonesia akhirnya mengakibatkan outflow yang besar pula.

Akan tetapi negara maju seperti Eropa maupun Amerika Serikat dapat mengatasinya hingga akhir Maret karena mereka mengeluarkan kebijakan fiskal maupun kebijakan moneternya. Sehingga kepanikan global ini mulai mereda. 

Dan Bank Indonesia tetap mewaspasai karena perkembangan bisa saja lebih cepat dari yang diperkirakan dan hal ini memerlukan langkah-langkah yang cepat juga. Bank Indonesia juga selalu memastikan bahwa akan selalu berada di pasar guna stabilisasi nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia terus memperkuat kebijakannya yakni menstabilkan nilai tukar Rupiah. Karena memang sesuai dengan fundamentalnya dan bekerja dalam mekanisme pasar. 

Perkembangan nilai tukar sejak seminggu terakhir akibat dari tekanan global cukup mereda saat ini, supply dan demand bergerak cukup baik. BI menyatakan bahwa kebutuhan valas selain melalui spot juga dapat dipenuhi dengan transaksi DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward). 

Untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah, Bank Indonesia memperkuat intensitas triple intervention. Baik melalui spot, DNDF (Domestic Non-Deliveriable Forward), maupun dengan pembelian SBN. Pembelian SBN dari pasar sekunder ini sebesar 172,5triliun (ytd).

Langkah yang tepat dalam menangani agar nilai tukar Rupiah kembali menguat, yaitu peran pemerintah atau fiskal dalam menangani COVID-19. Karena penurunan nilai tukar Rupiah saat ini akibat dari penyebaran visrus tersebut atau sikap masyarakat yang khawatir akan penyebaran yang semakin luas sehingga menekan pertumbuhan ekonomi.

 Apabila pengawasan dari pihak pemerintah kurang baik dan kurang cepat dapat mengakibatlan  psikologis pasar yang lebih besar. Dan nilai tukar rupiah bisa lebih melemah lagi.

Penurunan nilai tukar rupiah ini, mengakibatkan pada pembayaran utang yang berdenominasi dollar Amerika Serikat. Baik dalam bentuk utang pemerintah maupun utang swasta yang semakin tinggi. 

Bagi pelaku usaha yang bergantung pada impor ke luar egeri juga semakin terpuruk keadaannya. Maka dari itu apabila volatilitas rupiah tidak segera ditangani dengan langkah yang cepat dapat memungkinkan potensi dan bahaya yang semakin terbuka.

Terkait langkah Bank Indonesia untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) yakni sebesar 25 bps menjadi 4,50%. Kebijakan tersebut sudah tepat dalam menangani masalah terkait penyebaran virus corona atau COVID-19. 

Keputusan tersebut sejalan dengan arah suku bunga bank sentral global dimana mereka juga menurunkannya. Langkah ini diperkirakan dapat mengurangi perlambatan ekonomi dalam negeri yang dikhawatirkan akan semakin memburuk kondisinya.

Diharapkan pihak perbankan juga melakukan penyesuaian suku bunga. Karena dapat merangsang para pelaku usaha untuk melakukan ekspansi. Dimana di sisi permintaan haruslah diperkuat agar daya beli masyarakat terjaga dan konsumsi rumah tangga tetap stabil. 

Bank Indonesia telah memaksimalkan sluruh instrumennya dalam mendorong perekonomian di tengah wabah virus corona ini. Maka diharapkan sektor perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya.

Penyebaran virus ini memang dinilai dapat melumpuhkan perekonomian secara global. Dalam menangani masalah ini seluruh negara di penjuru dunia saling bahu-membahu dalam mengobati perekonomiannya masing-masing. 

Pemerintah sangat berhati-hati dalam menerapkan suatu kebijakan dengan terus memantau perkembangan kondisi ekonomi secara global yang saat ini juga sedang dalam masalah yang sama.

Apabila nilai tukar rupiah semakin menurun maka akan berdampak pada perekonomian nasional. Khususnya bagi para pelaku industry yang masih bergantung pada bahan baku impor dari luar ngeri. 

Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap impor kebutuhan pokok. Masalah ini perlu tindakan dari pemerintah juga dengan menerapkan berbagai stimulus. Dalam Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan memberikan relaksasi belanja dan pembiayaan negara sebesar Rp405,1 triliun. 

Hal ini dapat berpengaruh pada APBN 2020 yang akan mengalami deficit yang sebesar 5,07 persen. Dengan Perppu tersebut dapat memberikan fondasi untuk pemerintah dan perbankan untuk mengeluarkan langkah yang dapat menjamin kesehatan masyarakat dan stabilitas sistem keuangan.

OJK juga mengeluarkan kebijakan yaitu dengan pemberian keringanan atau penundaan pembayaran kredit. Dengan langkah ini debitur dapat menyesuaikan kemampuannya dalam membayar dan dapat disepakati oleh pihak bank atau lemabag leasing yang bersangkutan. 

Kebijakan yang dikeluarkan apabila tidak ramah terhadap pasar, maka kurang direspon oleh pasar keuangan maupun pasar saham. Modal asing pun akan keluar. Sehingga menyebabkan rupiah maupun IHSG melemah. Dan sebaliknya apabila kebijakan pemerintah tersebut dpaat sejalan dengan apa yang diinginkan oleh pasar keuangan, maka aka nada respon positif dan melihat kondisi ekonomi global.

Mengenai penerapan triple intervention dapat menyebabkan berkurangnya pelemahan nilai tukar rupiah. Dan dengan penerapan tersebut, nilai tukar rupiah kondisinya cenderung levih baik darpada negara-negara lain di Kawasan Asia. Bank Indonesia menghabiskan dana sekitar Rp100 triliun guna menjaga stabilitas sistem keuangan terutama nilai tukar rupiah akibat dari penyebaran COVID-19.

Injeksi likuiditas diterapkan oleh Bank Indonesia agar mekanisme pasar tetap berjalan meskipun dengan kondisi seperti ini. Bank Indonesia juga telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder sebesar Rp168,2 triliun. Dari repo perbankan sekitar Rp55 triliun. Penrurunan GWM (Giro Wajib Minimum) di awal tahun maupun yang akan berlaku pada bulan April sekitar Rp65 triliun.

Mekanisme pasar keuangan semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari pelaku antarbank. Selain itu juga, dari eksportis dan para pelaku usaha yang mensuplai pasokan valas. 

Sehingga derdampak pada rupiah yang diperdagangkan dekitar Rp16.350 per USD. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hari ini melemah apabila dibandingkan dengan kemarin sore yaitu berada di posisi Rp16.310 per USD. Rupiah dinilai kesulitas dalam menangani mata uang Amerika Serikat di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang semakin meningkat penyebarannya hingga ke seluruh penjuru dunia.

Pada hari Rabu, 1 April 2020, secara resmi pemerintah telah menerbitkan surat utang di tengah kondisi wabah COVID-19, yaitu Pandemic Bond yang semula bernama Recovery Bond. Hal ini sesuai dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. 

Dengan model surat ini dengan memperkirakan adanya pembiayaan yang berasal dari Bank Indonesia. maka Bank Indonesia dapat melakukan pembelian surat utang sesuai dengan pemerintah secara lansung. 

Kemenkeu dan Bank Indonesia meberikan peringatan agar tidak salah dalam merepresentasikan. Dengan menerbitkan SUN (Surat Utang Negara) atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) bertujuan untuk pandemi COVID-19 yang dapat dibeli oleh BI, BUMN, dan lain-lain.

Perluasan kewenangan yang diterima Bank Indonesia dalam membeli Surat Utang Negara memang bertujuan untuk menangani permasalahan stabilitas sistem keuangan di tengah wabah COVID-19. 

Menurut Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam pembelian surat tersebut, Bank Indonesia menjadi last lender atau pemberi pinjaman terakhir. Sebagaimana yang telah ditegaskan bajwa ketika pemerintah memerlukan pembiayaan, tidak smua para pelaku pasar maupun investor tidak mampu mebeli seluruh surat utang tersebut karena kondisi tekanan ekonomi akibat wabah COVID-19. Langkah ini sekaligus dapat menjaga stabilitas makroekonomi maupun stabilitas sistem keuangan Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun