"Eh? Terlalu terang-terangan kah? Mendadak banget, ya?" ujar Chandra sambil tertawa melihat wajah Senja. Dimana wajah Senja sudah memerah seperti tomat. Senja masih tidak membalas, masih terlalu kaget dengan informasi yang ia dapat barusan.
"Jadi gini, Senja. Aku bilang ini sebagai pengakuan perasaanku sekaligus sebagai perpisahan kita.." Nada yang dipakai Chandra mulai menurun dan memelan. Senja sudah tidak tersipu lagi mendengarnya, lebih ke penasaran.Â
"Kenapa jadi perpisahan kita?" tanya Senja dengan polosnya.
"Aku harus balik ke tempat asalku." jawab Chandra dengan mata yang mengisyaratkan kesedihan menatap Senja.
"Tempat asalmu? Dimana itu?" tanya Senja lagi, nadanya sudah mulai khawatir.
"Di Bulan." jawab Chandra dengan lesu.
Chandra meraih dan menggenggam tangan mungil Senja. Tatapannya tidak terlihat bahwa ia sedang bercanda sekarang. "Hei, ayolah. Aku kira kamu serius. Ternyata bercanda." Senja tertawa mendengar pengakuan itu.
"Aku memang serius. Aku bukan makhluk yang diharuskan hidup di sini. Aku hanya di sini untuk menjaga seseorang, dan orang itu adalah kamu, 'Nja. Dan sekarang tugasku sudah selesai, aku diharuskan kembali ke bulan." genggaman tangan Chandra mengerat pada tangan Senja, kemudian mengarahkan tangan Senja untuk memegang dadanya, untuk merasakan bahwa tidak ada detak jantung di sana. "Lihat, aku bahkan tidak punya detak jantung, 'Nja."
Tentu Senja merasakan itu, ia pun juga kaget. Lalu selama ini, ia berteman dengan apa? Rasa bingung dan sedih bercampur menjadi satu, semua itu menjadi rasa yang menyesakkan. Apalagi Chandra bilang ini adalah perpisahan mereka. Air mata menggenang di pelupuk mata Senja.
"Maaf ya, 'Nja. Aku gak bisa nemenin kamu lebih lama. Tapi, aku punya hadiah untuk kamu" Chandra memaksakan dirinya tersenyum saat melihat Senja, ia merogoh saku jaketnya untuku mencari barang tersebut. Saat dikeluarkan dari saku, itu adalah kalung dengan hiasan bulan purnama. "Kalung ini bisa bercahaya di dalam gelap. Jadi bisa nemenin kamu waktu malam, 'Nja" Chandra mengucapkan itu sembari mengalungkannya ke leher Senja dengan perlahan.
Senja terdiam, menatap kalung itu dengan sorot penuh kesedihan. Padahal mereka baru bertemu, dan itu juga pertamakali Senja jatuh pada pesona seseorang. Senja dengan sangat pelan menggumam, "Terimakasih, Chandra."