"Kamu kemana saja? Pamit semenjak pagi sampai beduk zuhur belum dapat rumput? Sudah berapa banyak kamu membuang ludah dan asapmu?" omel Mbok War sembari tangannya menjewer telinga Paiman dan menariknya pulang.
"Apa-apaan kamu, War! Malu dilihat Karjo dan Mbok Ni," geram Paiman. Tangannya berusaha melindungi telinga yang sudah dalam cengkeraman tangan kasar sang istri. Namun, Mbok War yang sudah terlingkupi amarah tidak mempedulikan gerutuan Paiman.
Karjo dan Mbok Ni tidak mampu menahan tawa, tetapi mereka menahannya demi harga diri lelaki seorang Paiman. Mereka pun tertawa lepas saat bayangan sepasang istri menjewer suami tidak terlihat lagi.
"Permisi, Kang Karjo."
Karjo menghentikan tawa saat mendengar namanya dipanggil. Istrinya sudah berjalan mendekat lima orang lelaki sebaya sang suami.
"Eh, Kang Yatno. Mari saya antar ke belakang."Â
Tidak memperdulikan rasa heran Mbok Ni, Karjo membawa kelima tamunya ke halaman belakang. Mbok Ni mengikuti tanpa ada keinginan bertanya, dia hanya menyimpan rasa ingin tahunya. Salah seorang tamu memandang sekeliling pekarangan belakang dan sesekali mengetuk permukaan tanah.
"Lebih baik di sebelah sini, Kang. Karena tanahnya lebih mudah untuk digali, kualitas air-nya pun lebih bagus. Kalau yang dekat pohon pepaya, menggalinya harus lebih dalam dan tanahnya berlumpur," papar Kang Yatno.
"Terserah Kang Yatno saja yang lebih tahu. Mulai kapan pekerjaannya?" tanya Karjo.
Mbok Ni mulai menangkap maksud kalimat-kalimat yang keluar dari kedua lelaki itu. 'Apakah suamiku hendak membuatkan aku sebuah sumur?'Â
Netra Mbok Ni berkaca-kaca menatap sosok tinggi nan ramping yang selalu menenangkannya saat dia marah. Lelaki tanpa banyak aksara, tetapi lebih banyak bertindak. Terima kasih Gusti, Engkau berikan lelaki yang begitu baik hati.