"Kalau tahu rasanya tidak enak kekurangan air, mengapa kamu masih saja memengaruhi orang-orang? Kamu ini sukanya mengobral omongan tanpa makna," cibir Mbok Ni.
"Memang kenapa? Mulut ... mulutku, bukan juga mulutmu atau mereka. Walaupun rasa kataku pahit yang tahu rasanya pahit aku sendiri. Bukan kamu. Lagian juga terserah mereka setuju atau tidak dengan omonganku," ketus Paiman
"Aku tidak habis pikir sama kamu, ya. Mengumbar omongan kesana kemari. Apa kamu tidak capek menjual tong kosong?" geram Mbok Ni.
"Kalian berdua sampai kapan akan menghentikan adu mulut? Kamu juga Man, apa tidak capek? Tadi malam, pagi ini, belum lagi bertikai dengan hati dan pikiranmu." Perlahan Karjo masuk dalam argumen yang tidak akan berhenti jika dia tidak menghentikannya.Â
Dia menatap dua paras yang setiap hari bertatap muka dengannya dan sudah dikenal akrab semenjak bocah. Istrinya yang selalu menyuarakan hati jika sudah menyentuh batas toleransinya. Paiman yang selalu mengumbar aksara tanpa makna kemana-mana. Karjo mengembuskan kasar nafasnya.
Paiman tidak perduli dengan kalimat Karjo. Dia sedang berusaha keras menelan habis seruputan terakhir kopi yang dihidangkan oleh tuan rumah, walau dia harus berupaya keras menelan pahitnya. 'Keterlaluan sekali,' gerutu Paiman di kedalaman hatinya.Â
Dia tidak mampu menyuarakan pahit yang dia rasakan.
"Man, lihat. Istri kamu nyusul," celetuk Karjo. Terlihat dari jauh seorang wanita berbaju motif bunga kuning berjalan sedikit tertatih.
"Buat apa kamu menyusulku? Sebentar lagi aku pulang," ujar Paiman saat sang istri menghampiri.
"Sebentar lagi-sebentar lagi. Kamu mau bilang sebentar lagi sama sapi dan kambingmu yang sudah berteriak kelaparan dari tadi. Risih telingaku, Kang," hardik istrinya.
"Tapi aku belum dapat rumput, War," lirih Paiman.