Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Peluh di Antara Setangkup Cinta

4 Januari 2023   17:40 Diperbarui: 4 Januari 2023   17:44 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekarang kamu pilih mana, setiap bulan bayar biaya air tetapi tidak harus sengsara kekurangan air. Atau tidak membayar tapi konsekuensinya setiap kemarau warga harus pergi jauh mencari air," tukas Mbok Ni menatap tajam Paiman.

"Iya kamu sudah punya sumur sendiri, tidak merasakan susahnya mencari air seperti aku. Tidak perlu menguras keringat untuk setimba air. Apakah kamu tidak berpikir orang lain di sekitarmu yang belum mempunyai sumur?" celoteh Mbok Ni, dia berusaha agar pikiran Paiman terbuka.

"Tidak seperti itu, Ni. Aku ...." Suara Paiman terputus oleh cecaran Mbok Ni.

"Apa? Kamu masih berkelit demi kepentingan bersama? Apa ini bukan demi kepentinganmu sendiri? Memang kamu mengerti apa yang dipikirkan orang-orang?" cecar Mbok Ni lagi. 

"Bukankah bayar bulanan air tergantung pemakaian?" lanjut Mbok Ni lagi.

Karjo menghampiri sang istri dan temannya. Dia mendengarkan perdebatan mereka yang terus berlanjut, tetapi tidak berniat menghentikan. Pemandangan seperti ini hampir tiap hari dia temui. 

Bahkan semenjak mereka tumbuh bersama. 'Aku ingin tahu siapa yang akan memenangkan argument ini, apakah istriku akan menang lagi,' batin Karjo.

"Apa jawabanmu, Min? Kamu bisa saja mengumbar omongan sama orang lain untuk tidak menyetujui pembangunan saluran air atau apalah itu. Tapi jangan pernah pengaruhi aku. Kamu tidak tahu betapa capeknya harus mengusung air dari tempat yang jauh," bantah Mbok Ni.

"Tidak hanya kamu Ni yang mengalami, aku pun pernah," ujar Paiman sabar sambil menyeruput kopi yang terasa sangat pahit, seperti tanpa gula. 

'Tidak seperti biasanya, apa Mbok Ni sengaja,' tanya Paiman dalam hati, tetapi dia tidak bermaksud menanyakan padanya.

Mbok Ni tersenyum tipis sekaligus sinis melihat reaksi Paiman saat minum kopi yang sengaja tidak dia beri gula. 'Memang hanya mulutmu saja yang pahit, rasakan itu pahitnya kopi.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun