Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Dengan tidak adanya ketentuan diatas di dalam pasal UU TPKS dapat mempersulit korban dalam mengakses hukum acara yang diatur di dalam UU itu sendiri serta tidak bisa ditanggulangi secara komprehensif.Â
Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) juga meragukan penghapusan kedua pasal ini di dalam UU TPKS sebab dalam pola penyusunan peraturan perundang-undangan kita, ada proses yang namanya harmonisasi dan sinkronisasi oleh Kemenkumham," kata Bivitri
Mengingat tingginya kasus perkosaan dan aborsi, tentu seharusnya masalah ini juga harus mendapat prioritas penanganan. Apabila selama tidak ada kepastian RKUHP untuk disahkan, maka jenis kekerasal seksual dalam bentuk pemaksaan aborsi hanya dikategorikan sebagai kasus pencabulan.Â
Sebab pada KUHP hanya mendefinisikan perbuatan cabul selama alat vital laki-laki dipenetrasikan ke vagina. Konsekuensinya, hukuman terhadap pelaku akan lebih ringan. Selain itu korban juga tidak akan mendapat perlindungan hingga pemulihan sesuai hukum yang telah diatur dalam RUU TPKS.
Oleh karena itu, berbagai celah yang ada pada UU TPKS ini perlu segera diperbaiki di pengaturan lain seperti turunan peraturan institusional yang mampu merumuskan pada penguatan peran dan wewenang apparat penegak hukum dalam penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, mengingat urgensi di Indonesia sudah darurat kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H