Mohon tunggu...
AINURRASYID FIKRI
AINURRASYID FIKRI Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Development Economics Undergraduate Student | Interested in Education, Business, and Graphic Design Fields | IG: __rrsyid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU TPKS: Dua Perkara yang Belum Usai

18 Mei 2022   11:46 Diperbarui: 18 Mei 2022   11:46 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

UU TPSK: Dua Perkara yang Belum Usai

Para aktivis perempuan bersorak saat disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022).

Setelah melewati proses legislasi yang memakan waktu bertahun-tahun, pemerintah Indonesia kini resmi mengesahkan UU TPKS dalam Rapat Paripurna di gedung DPR RI pada Selasa (12/4/2022). 

Pengesahan tersebut disambut haru bahagia dari berbagai elemen masyarakat, khususnya komnas perempuan yang turut menghadiri rapat sidang paripurna tersebut serta para korban kekerasan seksual yang selama ini mengalami ketidakadilan dalam penanganan kasus yang menimpanya.

Ketua DPR RI Puan  pMaharaniun mengatakan "Pengesahan RUU TPKS merupakan momen bersejarah dan hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia menjelang diperingatinya Hari Kartini sebentar lagi" ucap Puan sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua DPR RI itu.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode 2016-2020 setiap tahun ada sekurang-kurangnya 5.200 kasus kejahatan terhadap kesusilaan. BPS mendefinisikan kejahatan kesusilaan ini sebagai perkosaan dan pencabulan. Lebih lanjut, pada 2021 sebanyak 2.363 kasus. 

Kasus perkosaan merupakan mendominasi, dimana jumlah kasus perkosaan terhadap perempuan mencapai 597 kasus atau 25% dari total kasus. Kasus pemerkosaan dalam perkawinan menempati posisi kedua dengan jumlah mencapai 591 kasus (databoks.katadata.co.id, 2022/03/09).

Atas dasar jumlahnya yang sangat fantastis maka desakan disahkan RUU TPKS dilakukan oleh pihak yang menganggap pentingnya RUU TPKS. Berkaitan penerapan tersebut mengundang sejumlah kritik karena RUU ini dinilai tidak akan mampu mengatasi kekerasan seksual.

Melansir situs resmi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) UU TPKS mengatur: (1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (2) Pemidanaan (sanksi dan tindakan); (3) Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan; 

(4) Penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; (5) Pencegahan, Peran serta masyarakat dan keluarga; (6) Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil. Masuknya 6 elemen kunci dalam UU TPKS tersebut merupakan terobosan hukum yang patut diapresiasi karena komprehensif dalam mengatasi TPKS.

Namun di sisi lain, walaupun dianggap sebagai tameng baru dalam perjuangan melawan kekerasan seksual UU TPKS juga belum sepenuhnya sempurna. Hal ini karena para pembuat kebijakan dianggap mendukung pandangan liberal yang memihak pada aktivitas pergaulan bebas akan mendapatkan tempat, serta mengesampingkan konsep keagamaan. Selain itu juga pada UU TPKS tidak mengakomodir aturan terkait perkosaan dan pemaksaan aborsi di dalam UU tersebut.

Absennya pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi

Dalam UU TPKS, perkosaan masuk ke dalam tindak pidanan kekerasan seksual dan disebut dalam Pasal 4 Ayat (2). Namun pengaturan hukuman bagi pelakunya tidak diatur dalam UU ini. Yang lebih disayangkan lagi hilangnya pasal pemaksaan aborsi didalam naskah final UU TPKS ini alias tidak sama sekali diatur.

Berdasarkan keterangan Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya menyatakan bahwa RUU TPKS tidak akan mengatur tentang pidana pemerkosaan dan aborsi. Sebab dua hal itu akan diatur dalam RUU RKUHP dan Undang-Undang Kesehatan. 

Hal tersebut merujuk dari pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa tindak pidana pemerkosaan akan diatur di dalam RKUHP untuk menghindari tumpang-tindih antara peraturan perundang-undangan.

Absennya dua pasal tersebut didalam UU TPKS tidak bisa dianggap remeh walaupun akan segera diatur dalam RKUHP dan juga ini merupakan PR untuk Legislatif dan berbagai pihak terkait untuk segera menyempurnakan rumusaan mengenai kedua pasal ini mendatang.

Peneliti Indonesian Judicial Research Society (IJRS) Marsha Maharani mengatakan pada forum dikusi melalui Twitter Space, Kamis (14/4/2022) diperlukan penguatan rumusan dalam masalah perkosaan dan pemaksaan aborsi di dalam RKUHP ini. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan meski aturan dan ketentuan tindak pidana perkosaan dimuat dalam RKUHP. Namun penangan korban perkosaan tetap harus berdasarkan landasan pada UU TPKS. Mengingat lagi penguatan rumusan perkosaan diperlukan karena dinilai masih banyak celah masalah di dalam RKUHP.

Menurut Johanna Poerba, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), di dalam draft RUU TPKS yang lama keberadaan pasal perkosaan atau istilah yang dipakai saat itu adalah pemaksaan hubungan seksual, memperluas unsur tindakan dari apa yang kita pahami serta didefinisikan secara komprehensif sebagai "persetubuhan" dalam pasal tindak pidana perkosaan yang ada di KUHP. 

Unsur persetubuhan dalam pasal perkosaan, yakni Pasal 285 KUHP, hanya didefinisikan sebatas "masuknya penis ke dalam vagina". Artinya, kasus perkosaan disini tidak menjangkau relasi kuasa dan kekerasan psikis. Jadi baru bisa dikatakan tindakan perkosaan apabila telah memenuhi unsur persetubuhan (harus adanya penetrasi sebatas alat kelaminya dengan bukti-bukti fisik).

Sementara itu, pasal pemaksaan aborsi diawal sudah tertera pada Pasal 15 dalam draft RUU TPKS lama, dan mengatur jerat pidana bagi siapa saja yang memaksa korban untuk melakukan tindakan aborsi. Tetapi setelah disahkan Pasal Pemaksaan aborsi juga menghilang dari naskah final UU TPKS. Sama seperti perkosaan, pemaksaan aborsi diatur dalam Pasal 346 KUHP dan Pasal 75 UU Kesehatan.

Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

Dengan tidak adanya ketentuan diatas di dalam pasal UU TPKS dapat mempersulit korban dalam mengakses hukum acara yang diatur di dalam UU itu sendiri serta tidak bisa ditanggulangi secara komprehensif. 

Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) juga meragukan penghapusan kedua pasal ini di dalam UU TPKS sebab dalam pola penyusunan peraturan perundang-undangan kita, ada proses yang namanya harmonisasi dan sinkronisasi oleh Kemenkumham," kata Bivitri

Mengingat tingginya kasus perkosaan dan aborsi, tentu seharusnya masalah ini juga harus mendapat prioritas penanganan. Apabila selama tidak ada kepastian RKUHP untuk disahkan, maka jenis kekerasal seksual dalam bentuk pemaksaan aborsi hanya dikategorikan sebagai kasus pencabulan. 

Sebab pada KUHP hanya mendefinisikan perbuatan cabul selama alat vital laki-laki dipenetrasikan ke vagina. Konsekuensinya, hukuman terhadap pelaku akan lebih ringan. Selain itu korban juga tidak akan mendapat perlindungan hingga pemulihan sesuai hukum yang telah diatur dalam RUU TPKS.

Oleh karena itu, berbagai celah yang ada pada UU TPKS ini perlu segera diperbaiki di pengaturan lain seperti turunan peraturan institusional yang mampu merumuskan pada penguatan peran dan wewenang apparat penegak hukum dalam penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, mengingat urgensi di Indonesia sudah darurat kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun