“Suatu kehormatan, saya bisa bertemu Bapak Satya. Baru usia akhir dua puluhan sudah punya kedai dengan beberapa cabang di Indonesia?” si gadis menekankan ucapannya menjadi sebuah pertanyaan untuk memastikan.
“Panggil saya Satya. Usia kita tidak jauh berbeda. Kamu belum memperkenalkan diri. Namamu?”
Si gadis diam, menghela napas panjang. Tangannya mengatur helaian rambut yang menutupi matanya. Bahkan sejauh pembicaraan ini berlangsung pun, Satya tetap melihat ekspresi redup dalam wajah si gadis.
“Kamu tidak perlu tahu nama saya.” ujar si gadis, datar.
“Kenapa?”
“Tidak perlu, Satya. Saya tidak akan pernah kembali ke sini lagi.
“Kenapa?” Satya termangu. Lagi-lagi pertanyaan yang sama keluar dari mulutnya.
“Saya mau mati.” si gadis membereskan duduknya, bersiap untuk pergi. “Oh iya, terima kasih atas traktirannya malam ini. Selamat malam.”
***
Berbulan-bulan sejak perbincangan itu, Satya tak pernah sekali pun melihat sosok si gadis. Si gadis tak pernah lagi menyambangi kedai kopi itu untuk duduk berjam-jam. Satya diam-diam berharap gadis itu hadir suatu hari nanti. Namun gadis berwajah sendu itu tak pernah datang lagi. Tidak pernah. Satya sebenarnya khawatir ucapan gadis itu nyata. Mengingat niat si gadis untuk mengakhiri hidupnya, entah kenapa membuat Satya bergidik.
“Pak Satya, sudah jamnya tutup. Menunggu seseorang?” seorang pegawai membuyarkan lamunannya.