Oleh: Ainun Nisa Nadhifah
(Dimuat dalam Harian Solopos, 15 Desember 2013)
Gadis itu selalu berada di tempat yang sama. Selalu memilih tempat di atap bangunan, di meja yang menghadap langsung ke sisi barat. Ia membiarkan helai-helai rambut sepunggungnya berkibar tertiup angin. Wajah cantiknya yang tirus selalu terlihat tanpa ekspresi. Ia selalu sendiri, menghabiskan waktunya untuk duduk di tempat yang sama, beberapa kali setiap bulan. Meminum kopi yang sama, espresso, tanpa gula. Menyesapnya sedikit demi sedikit tak lebih dari setengah jam, lantas berjam-jam kemudian ia hanya duduk diam. Sesekali ia menghabiskan waktunya hanya dengan memandangi langit yang benderang oleh rembulan penuh. Sering kali ia hanya menatap kosong meja bundar yang di hadapannya.
Setidaknya, itulah yang diamati jelas oleh Satya. Ia bisa hapal semua gerak-gerik dan kebiasaan si gadis walau tidak mengenalnya. Satya selalu berada di kedai ini beberapa malam dalam sebulan, memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Beberapa kali, ia duduk di meja sebelah si gadis. Meski tak pernah sekalipun melihat si gadis memesan kopinya, ia lebih dari sekadar tahu—bahwa kopi yang diminum gadis itu adalah espresso—hanya dari aroma yang menguar ke sekelilingnya. Belakangan, Satya baru mengerti bahwa si gadis hanya datang ketika rembulan penuh dan terang-benderang.
***
“Boleh saya duduk di sini?” Satya memberanikan diri untuk duduk di tempat favorit si gadis. Si gadis hanya diam, namun kepalanya mengangguk sekali.
“Saya sering lihat kamu duduk di sini, tapi hanya pada waktu tertentu tiap bulannya. Kenapa?” tanya Satya. Sudah lama ia menahan keinginannya untuk bertanya kepada si gadis bermata sayu itu.
“Melihat rembulan purnama.” jawab gadis itu singkat. Dingin.
“Apa istimewanya pergi ke atap untuk melihat bulan purnama yang selalu sama?” Satya menarik alisnya, terkejut mendengar jawaban gadis yang tak pernah tersenyum itu. “Siapa bilang purnama selalu sama?” si gadis menyesap tetes terakhir kopinya.
“Pertama, purnama tidak pernah sama—setidaknya untuk saya—selalu ada yang membedakan satu purnama dengan purnama berikutnya. Memandangi purnama membuat saya mengingat banyak kenangan yang saya miliki. Saya bisa menangis, tertawa, ataupun marah setelah melihat purnama itu. Saya melihat banyak peristiwa. Kedua—ya—saya suka espresso tanpa gula, karena pahitnya mengingatkan saya pada kepahitan yang lebih tajam di luar sana.” jawab si gadis. Ekspresinya tampak muram.
“Dan kenapa kamu tahu saya selalu meminum espresso tanpa gula?” lanjut si gadis, membuat Satya terperangah. Ini kali pertama ia berkata panjang lebar.
“Saya kira kamu hanya bisa mengangguk, menggeleng, dan menjawab singkat.” Satya tertawa, berusaha menciptakan atmosfer yang lebih hangat.
“Itu pujian atau celaan?” si gadis semula hanya menyeringai, namun akhirnya ia tertawa juga.
Satya tersenyum simpul, lantas menghabiskan kopinya. Manis, tak seperti kopi kesukaan si gadis.
“Apa yang kamu lihat dari purnama malam ini?” tanya Satya. Meski merasa telah terjebak dalam pembicaraan ganjil, Satya tertarik juga pada obrolan ini.
“Saya melihat teriakan, tangisan, tawa bengis, dan kebakaran. Entahlah.” Si gadis menyeringai, meninggalkan tatapan prihatin dalam wajah Satya. Memang itulah yang ia lihat pada rembulan malam ini. Peristiwa bertahun-tahun silam.
“Kenapa kamu bisa betah duduk diam selama berjam-jam di tempat ini?”
“Setelah saya memandangi rembulan purnama itu, saya harus merenung.” si gadis menjawab dengan mimik serius.
“Merenungi rembulan? Yang benar saja, hahaha.” Satya menertawakan jawaban si gadis, meski ia tak mengerti bagian mana yang lucu dari perkataan si gadis. Barangkali, ekspresinya yang kelewat serius dalam membicarakan rembulan purnama itulah yang membuatnya tergelak.
“Saya merenungi apa yang saya lihat dari rembulan itu. Mengingat-ingat masa lalu, menimbang-nimbang apakah saya harus menjalankan atau membatalkan rencana-rencana yang bersarang di pikiran saya.”
“Begitukah? Pertama. Bagi saya, purnama selalu sama. Bulatnya, ceruk-ceruknya, sinarnya. Melihat purnama seolah melihat janji atas hari esok yang lebih baik. Membosankan bila datang ke sini hanya untuk melihat rembulan. Kedua, saya adalah salah satu pemilik kedai ini. Saya bisa mengenali seluruh menu di tempat ini hanya dengan menciumnya sekali saja. Jadi, jangan heran kalau saya hapal pelanggan kedai kopi ini. Oh iya, khusus malam ini kamu tidak perlu membayar kopi ini. Anggap saja hadiah untuk pelanggan setia.” Satya tersenyum puas melihat keterkejutan di raut wajah si gadis.
“Lalu, apa yang kamu hasilkan dari renungan malam ini?” Satya menatap lurus ke arah gadis itu.
“Suatu kehormatan, saya bisa bertemu Bapak Satya. Baru usia akhir dua puluhan sudah punya kedai dengan beberapa cabang di Indonesia?” si gadis menekankan ucapannya menjadi sebuah pertanyaan untuk memastikan.
“Panggil saya Satya. Usia kita tidak jauh berbeda. Kamu belum memperkenalkan diri. Namamu?”
Si gadis diam, menghela napas panjang. Tangannya mengatur helaian rambut yang menutupi matanya. Bahkan sejauh pembicaraan ini berlangsung pun, Satya tetap melihat ekspresi redup dalam wajah si gadis.
“Kamu tidak perlu tahu nama saya.” ujar si gadis, datar.
“Kenapa?”
“Tidak perlu, Satya. Saya tidak akan pernah kembali ke sini lagi.
“Kenapa?” Satya termangu. Lagi-lagi pertanyaan yang sama keluar dari mulutnya.
“Saya mau mati.” si gadis membereskan duduknya, bersiap untuk pergi. “Oh iya, terima kasih atas traktirannya malam ini. Selamat malam.”
***
Berbulan-bulan sejak perbincangan itu, Satya tak pernah sekali pun melihat sosok si gadis. Si gadis tak pernah lagi menyambangi kedai kopi itu untuk duduk berjam-jam. Satya diam-diam berharap gadis itu hadir suatu hari nanti. Namun gadis berwajah sendu itu tak pernah datang lagi. Tidak pernah. Satya sebenarnya khawatir ucapan gadis itu nyata. Mengingat niat si gadis untuk mengakhiri hidupnya, entah kenapa membuat Satya bergidik.
“Pak Satya, sudah jamnya tutup. Menunggu seseorang?” seorang pegawai membuyarkan lamunannya.
“Tidak juga, Yan. Tapi saya penasaran dengan seorang pelanggan kita. Kok sudah jarang berkunjung, ya?”
“Yang mana, Pak?” Yanu, pegawai itu, berpikir sejenak, lalu terkesiap. “Jangan-jangan Bapak lihat juga?”
“Maksudmu?” Satya berdiri di tempat favorit gadis itu.
“Gadis cantik yang suka duduk di sini sambil lihat purnama.” Yanu bergidik.
“Iya, maksud saya yang itu, Yan. Kenapa kamu jadi aneh?” Satya ikut terkejut. Yanu lantas berkata pelan nyaris berbisik.
Satya pun mengerti. Gadis yang dilihatnya selama ini memang telah mati, bahkan jauh sebelum kontraktor bangunan membangun kembali kompleks yang luluh lantak terbakar di suatu malam purnama. Bertahun-tahun sebelum orang tuanya berinvestasi dalam bangunan ruko yang kini ia gunakan untuk kedai kopinya. Ya, investasi yang pada akhirnya membawa petaka terhadap ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan tragis tahun lalu. Mendadak, engsel Satya melemas mengingat pembicaraan tentang purnama yang tak pernah sama itu.
Dan ia mengerti purnama apa yang disaksikan gadis itu di malam terakhir mereka bertemu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H