Mohon tunggu...
Ainun Nadhifah
Ainun Nadhifah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswi biasa yang sedang menempuh pendidikan di sebuah universitas negeri di Surakarta. http://blogainun.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Purnama yang Tak Pernah Sama

14 Januari 2014   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ainun Nisa Nadhifah

(Dimuat dalam Harian Solopos, 15 Desember 2013)

Gadis itu selalu berada di tempat yang sama. Selalu memilih tempat di atap bangunan, di meja yang menghadap langsung ke sisi barat. Ia membiarkan helai-helai rambut sepunggungnya berkibar tertiup angin. Wajah cantiknya yang tirus selalu terlihat tanpa ekspresi. Ia selalu sendiri, menghabiskan waktunya untuk duduk di tempat yang sama, beberapa kali setiap bulan. Meminum kopi yang sama, espresso, tanpa gula. Menyesapnya sedikit demi sedikit tak lebih dari setengah jam, lantas berjam-jam kemudian ia hanya duduk diam. Sesekali ia menghabiskan waktunya hanya dengan memandangi langit yang benderang oleh rembulan penuh. Sering kali ia hanya menatap kosong meja bundar yang di hadapannya.

Setidaknya, itulah yang diamati jelas oleh Satya. Ia bisa hapal semua gerak-gerik dan kebiasaan si gadis walau tidak mengenalnya. Satya selalu berada di kedai ini beberapa malam dalam sebulan, memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Beberapa kali, ia duduk di meja sebelah si gadis. Meski tak pernah sekalipun melihat si gadis memesan kopinya, ia lebih dari sekadar tahu—bahwa kopi yang diminum gadis itu adalah espresso—hanya dari aroma yang menguar ke sekelilingnya. Belakangan, Satya baru mengerti bahwa si gadis hanya datang ketika rembulan penuh dan terang-benderang.

***

“Boleh saya duduk di sini?” Satya memberanikan diri untuk duduk di tempat favorit si gadis. Si gadis hanya diam, namun kepalanya mengangguk sekali.

“Saya sering lihat kamu duduk di sini, tapi hanya pada waktu tertentu tiap bulannya. Kenapa?” tanya Satya. Sudah lama ia menahan keinginannya untuk bertanya kepada si gadis bermata sayu itu.

“Melihat rembulan purnama.” jawab gadis itu singkat. Dingin.

“Apa istimewanya pergi ke atap untuk melihat bulan purnama yang selalu sama?” Satya menarik alisnya, terkejut mendengar jawaban gadis yang tak pernah tersenyum itu. “Siapa bilang purnama selalu sama?” si gadis menyesap tetes terakhir kopinya.

“Pertama, purnama tidak pernah sama—setidaknya untuk saya—selalu ada yang membedakan satu purnama dengan purnama berikutnya. Memandangi purnama membuat saya mengingat banyak kenangan yang saya miliki. Saya bisa menangis, tertawa, ataupun marah setelah melihat purnama itu. Saya melihat banyak peristiwa. Kedua—ya—saya suka espresso tanpa gula, karena pahitnya mengingatkan saya pada kepahitan yang lebih tajam di luar sana.” jawab si gadis. Ekspresinya tampak muram.

“Dan kenapa kamu tahu saya selalu meminum espresso tanpa gula?” lanjut si gadis, membuat Satya terperangah. Ini kali pertama ia berkata panjang lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun