Ia memilih merenung di tepi sungai, mengamati sungai yang mengalir tenang. Lalu, satu ide muncul di kepalanya. Latata berlari mencari toko peralatan tulis dan membeli sebuah kuas beserta tinta emas. Dengan hati-hati, ia menggoreskan satu bentuk bintang untuk menyempurnakan nilainya, menghitung ulang skor total dan memastikan bahwa hasil akhirnya telah menyaingi murid yang mendapat peringkat terbaik.
Tiba di rumah, Latata menunjukkan hasil ujian. Hatinya berdebar. Bukan karena menanti respon Ayah dan Ibundanya, tetapi karena takut jika kebohongannya terbongkar. Namun yang ditakutinya tidak terjadi. Tanpa diduga, orangtuanya bersorak gembira melihat keberhasilannya. Pujian tanpa akhir terlontar untuk Latata. Acara makan malam dipenuhi hidangan lezat diadakan, dihadiri para kerabat yang datang untuk mengucapkan selamat.
Semua bersuka-cita, tapi tidak dengan Latata. Hatinya dilingkupi kegelisahan karena merayakan suatu kebohongan. Membuatnya tidak ingin lagi bertindak curang. Dia akan belajar lebih keras lagi untuk mencapai yang terbaik, itu janjinya untuk diri sendiri.
Musim berlalu, tak terasa Latata telah berumur tujuh belas tahun. Usia dimana para remaja memutuskan karir yang diinginkan untuk ditekuni sepanjang masa. Mayoritas memilih untuk menjadi Tabib, namun Latata menginginkan karir yang lain. Dia ingin menjadi pelindung alam. Sebuah impian yang ditentang orangtuanya, sebab karir seperti itu dipandang sebelah mata. Sehingga, Latata patuh mengikuti keinginan Ayah dan Ibunya untuk menempuh ilmu Tabib.
Hari demi hari berlalu lagi. Latata berusaha keras untuk selalu menjadi yang terbaik di setiap kelas Tabib yang diikuti. Tapi semuanya berjalan dengan sangat tidak mudah, terlebih karena Latata sama sekali tidak meyukai bidang tersebut. Meskipun demikian, Latata tetap berhasil meraih nilai tertinggi dan gelar terbaik.
“Dulu, saat putraku masih menempuh ilmu Tabib, meskipun bukan yang terbaik, total nilainya tidak pernah kurang dari sembilan puluh bintang, Latata,” ucap Paman Latata saat datang berkunjung demi mendengar berita bahwa keponakannya mencapai gelar terbaik. Namun, ia segera menampilkan senyum remehnya usai melihat skor total Latata yang hanya memiliki delapan puluh bintang.
Mendengar itu, serangkaian kalimat ‘kamu harus belajar lebih tekun lagi’ segera terdengar di telinga Latata dari orangtuanya.
“Ibunda, aku lelah menggeluti ilmu Tabib. Bolehkan aku memilih jalan lain?” ucap Latata suatu malam. Kejenuhannya telah sampai ubun-ubun hingga ia memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati.
“Apa maksudmu, Latata? Kau pikir tiga tahun itu waktu yang singkat? Jika kamu memulai dari awal, kamu akan tertinggal dengan yang lainnya!” hardik Ayahnya.
“Tapi, Ayahanda, Latata tidak sanggup lagi. Rasanya lelah.”
“Hidup itu memang melelahkan, karena itu kamu harus kuat. Semua ini untuk masa depanmu. Kau harus tahu itu!” tambah Sang Ibu.