Maka, Latata kembali mematuhi perintah itu. Melalui hari demi hari yang melelahkan lagi. Menggeluti bidang Tabib yang sama sekali tidak menyentuh ujung hatinya. Memenuhi segala standar terbaik yang selalu didengarnya.
Mengapa untuk membahagiakan orangtuanya begitu sulit dicapai? Mengapa selalu saja ada kekurangan dalam hasil yang ia peroleh? Tidak dapatkah Ayah dan Ibunya hanya berfokus pada pencapaiannya, bukan keberhasilan orang lain? Mengapa ia tidak dapat melakukan keinginannya walau hanya satu kali?
Pikiran semacam itu akhirnya hadir di kepalanya. Terus berulang tanpa henti dari mentari terbit hingga terbit kembali di esok harinya. Mempengaruhi semangatnya dalam belajar, mempengaruhi prestasinya.
“Apa-apaan ini, Latata! Nilaimu jelek sekali! Kamu tidak belajar? Hah!” Ayahnya melempar hasil ujian ilmu Tabib Latata. Skornya hanya mencapai lima puluh bintang.
Latata terdiam. Merasa enggan menanggapi. Ia hanya mendengar rangkaian kalimat Ayah dan Ibunya yang dipenuhi tanda seru. Berita kegagalan Latata menyebar begitu cepat, menjadi buah bibir warga desa. Latata yang menawan tak lagi pandai. Latata bukan anak yang berbakti.
Rumor lain ikut tersebar, menyamarkan kebenaran berita mengenai Latata. Warga desa percaya, bahwa Latata kini lebih tertarik berkencan dengan seorang pria daripada belajar. Padahal selama hidupnya, Latata sedikit pun tidak bersinggungan dengan asmara. Tidak ada waktu untuk itu.
Kembang desa Aera yang selama ini dipuja-puji, tidak lagi berharga. Membuat orangtua Latata menahan rasa malu setiap kali putrinya kalah saing dengan anak tetangga. Namun, Latata tidak peduli lagi. Dia memilih untuk menyendiri di tepi sungai, menikmati kesendirian dengan pikirannya yang ramai.
Seandainya ia menghilang, pasti itu akan lebih baik. Sekali saja, ia ingin mewujudkan satu keinginannya. Mengekspresikan kekecewaannya pada siapapun yang membicarakannya, membuat mereka menyesal tiada akhir.
Ya, keputusan singkat itu memenuhi pikiran Latata, didukung oleh suara hatinya. Maka perlahan, langkah kaki Latata mendekat pada bibir sungai. Perlahan, ia menyatukan tubuhnya dengan air sungai, hingga tak nampak lagi di permukaan.
“Hai, Latata! Senang bertemu denganmu,” sapa seorang pria berambut perak kala Latata baru saja membuka mata.
Latata mengerlingkan mata berulang kali, mengamati lingkungan tempatnya berada yang serba putih. Tidak ada pohon, tidak ada rumput kering, apalagi sungai. Hanya putih. “Ini dimana?”