Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Double" Kecolongan

2 April 2021   09:26 Diperbarui: 2 April 2021   09:28 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hanya di dalam kurungan waktu empat hari, masyarakat Indonesia sontak tertawa tanpa kontrol karena menonton komedi yang diperankan oleh teroris, pihak kepolisian, dan lembaga akademik. 

Sudah bukan barang baru kalau terorisme, menurut para peneliti masalah sosial ini, memiliki dua struktur: aktor intelektual yang menyusun bagan penyerangan dan eksekutor lapangan yang mengaplikasikan rencana di medan tempur.

Terdapat perbedaan tajam di antara kualitas kedua aktor ini. Aktor intelektual sudah pasti memiliki kecukupan finansial, berwawasan, dan sekaligus demagog ideologis. Karena itu, aktor intelektual adalah kelompok elit yang tersaring. 

Sementara itu, eksekotor lapangan, dari beberapa kejadian pengeboman di tanah air, kelihatan tidak memiliki sokongan akademik yang mumpuni. 

Keuletan otot untuk mengeksekusi rencana juga tampak amatiran. Maka, kelompok eksekutor ini bukan kelompok yang selektif, melainkan siapa saja. Siapa saja yang bisa dihipnotis, yang nalarnya hanya mampu merepetisi tanpa presesi, nuraninya tumpul, memenuhi syarat.

Kualitas kelompok eksekutor di atas pantas saja memperlihatkan kemampuan mereka sebagai badut perusak hidup bersama. Tujuannya memporak-porandakan dan meretakkan kerekatan hidup bersama, tetapi malah memainkan komedi yang menyatukan warga Indonesia. 

Bukankah orang Indonesia menyukai serial-serial komedia? Pengeboman di gereja Katedral Jakarta memamerkan keterampilan komedian teroris: berencana membom umat yang sedang berdoa, tetapi kedatangannya tepat pada saat umat sudah mulai bubar. Artinya, analisis jadwal peribadatan eksekutor lemah.

Pelaku teror datang dengan maksud jahat, tetapi masih mau diladeni satpam di gerbang, bahkan rela ditahan di luar. Teroris berkelas mungkin akan mempertimbangkan untuk membawa mobil, berlari dengan kecepatan tinggi, dan langsung menabrak gerbang gereja hingga menembus ruang dalam gereja sehingga menimbulkan daya ledak yang sangat eksplosif. 

Pertunjukkan teroris di katedral Makasar alih-alih menimbulkan horor, malah mengundang warga untuk berfoto ramai. Para youtuber lantas memiliki bahan untuk pengembangan konten youtubenya.

Drama komedi kedua dipentaskan di atas panggung Mabes Polri. Seorang wanita berusia 25 tahun, belakangan diketahui merupakan produk mahasiswa drop out semester lima. Dengan senjata pistol, wanita yang berinisial ZA ini menerobos Markas Besar Polri. 

Keberanian wanita ini dapat diacungi jembol. Namun, keberanian tanpa kecerdasan hanya menghasilkan dramaturgi kebodohan yang menimbulkan gelak tawa. 

Teroris cerdas pasti akan berpikir ribuan kali untuk menyerang Mabes Polri, pusat kepolisian yang tentu saja memiliki pengamanan super ketat dengan peralatan canggih dan dijaga orang-orang terlatih. 

Maka, tertembaknya pelaku adalah akumulasi dari kebegoannya dan kapabilitas kepolisian. Alhasil, bukannya menimbulkan horor bagi warga Indonesia, malah orang beramai mendatangi Mabes Polri sambal "ngerumpi", berselfie ria. Tidak lupa, para youtuber sudah pasti memburu adegan humoris ini.

Analisis di atas tentu saja bisa salah dan sangat perspektivis. Bukan perkara mudah untuk memahami fenomena terorisme. Belum ada teroris yang mau diajak diwawancarai, apalagi diajak berdiskusi. 

Teroris tidak memiliki agenda untuk berdiskursus ilmiah dan demokratis untuk mencapai konsensus. Karena itu, mereka memilih jalan "underground" untuk merealisasikan proyek-proyek "hidden agenda" mereka. Kiblat teroris juga sulit untuk ditembusi nalar sehat karena bermain di arena bisu untuk menghasilkan volume ledakan yang besar. Mereka lebih doyan dan terlelap beku dengan irasionalitas (dari sudut pandang khalayak ramai) atau rasionalitas keyakinan fundamental mereka. 

Mungkin juga kriteria rasional atau irasional bukan preferensi teroris. Alhasil, sangat sulit untuk memahami teroris. Teroris itu persisnya anomali, bukan simpton sosial. 

Kita mungkin belum memahami mereka, sebaliknya mereka juga mungkin belum memahami kita. Maka, membahas kemisterian para teroris kita cukupkan di sini. 

Yang lebih menarik untuk dibuah-bibirkan adalah dua instansi rasional yang terlibat sebagai 'pemeran' di dalam dramaturgi komedi ini. Meskipun Indonesia dikenal dunia sebagai negara penumpas teroris, kali ini kita mengalami "double" kecolongan.

Pemerintah kecolongan

Pemerintah Indonesia memiliki Badan Intelijen Negara (BIN) yang super canggih kemampuan pelacakannya. BIN diijinkan secara hukum untuk menyadap semua transaksi rahasia untuk mencegah bahaya ancaman terhadap negara. 

Memiliki perangkat teknologi dan hukum ini seperti ini seharusnya memampukan BIN untuk melindungi negara dari infilterasi terorisme. Berkali-kali Indonesia tersusupi terorisme menunjukkan dua kemungkinan: kualitas BIN belum "upgrade" sehingga tidak dapat meladeni virus sosial baru atau terorisme sudah tercium BIN entah pasti entah masih samar-samar.

Penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret sore membuat kita bertanya-tanya: bagaimana mungkin pusat kepolisian yang menjaga dan menjamin keamanan seluruh lini hidup bangsa dapat tersusupi? 

Penyusupnya adalah seorang wanita berusia 25 tahun yang pernah gagal kuliah? Senjata penyusup hanya sebilah pistol? Penyusup tersebut bila masih memiliki common sense, tentu tidak ceroboh bermain api di kendang pemilik senjata api. Teroris memang sulit dinalar.

Yang perlu diadili secara nalar adalah kepolisian kecolongan. Bagaimana kasus ini dapat dijelaskan? Jawabannya tidak cukup deskripsi fakta, tetapi perihal preskriptif. Kalau Mabes Polri dapat diserang, pihak mana yang dapat luput dari ancaman teroris? 

Kerentangan aparat keamanan bukan masalah internal kepolisian, tetapi seluruh bangsa. Rasa aman masyarakat terusik. 

Karena itu, pihak kepolisian perlu bertanggung jawab terhadap segenap masyarakat Indonesia. Pihak kepolisian tidak cermat mengamalkan kemampuannya sebagaimana seharusnya, kalau bukan terlalu ramah dan dengan demikian tunduk pada kesantunan daripada keselamatan dan kebenaran.  

Universitas kecolongan

Tidak hanya pihak kepolisian yang kecolongan, lembaga pendidikan tinggi Indonesia juga tersesupi. Terbukti, penyusup Mabes Polri kemarin adalah seorang wanita yang pernah mengenyam dan menyantap pendidikan hingga semester lima. 

Maka kita dapat bertanya: apa yang sudah diajari pihak universitas kepada pelaku? Sejauhmana lembaga pendidikan tinggi mendidik pelaku?

Kelemahan pelajar dalam menyerap materi, membentuk intelektualitas, dan membangun nuraninya bukan sekadar masalah personal. Sebatang tanaman dapat bertumbuh subur kalau didukung oleh lahan yang kondusif. 

Maka, infrastruktur pendidikan, entah sistem, entah para penggerak harus bertanggung jawab. Lembaga pendidikan secara keseluruhan perlu mengadakan introspeksi komunal dan komprehensif. 

Bagaimana pun penyusup Mabes Polri adalah juga bekas didikan lembaga pendidikan tinggi. Lembaga Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas pun turut bertanggung jawab. 

Sudah saatnya Pemerintah dan lembaga pendidikan melakukan otokritik menyeluruh: mencari tahu kelemahan, lubang-lubang yang memudahkan ruang akademis tersusupi.

Pendekatan paradigmatis dapat memakai metode Thomas Hobbes: resolutif dan kompositif. Pertama, lembaga pendidikan dan kepolisian melakukan dekonstruksi diri, mengurai sehingga detail-detailnya bahkan membayangkan kondisi pra-keberadaan kedua lembaga ini. 

Penguaraian ini akan membantu kepolisian dan pihak universitas menemukan lubang-lubang kecil yang memungkinkan teroris menyerang. Kedua, setelah mendekonstruksi, saatnya merekonstruksi kembali secara baru dan utuh.

Aparat keamanan dan lembaga pendidikan adalah nadi kehidupan republik ini. Bila kedua sumbu bangsa ini tersumbat, tidak dapat dipelak kalau tubuh seluruh bangsa akan berhenti berdetak. 

Tanggung jawab kepolisian dan lembaga pendidikan tinggi terhadap kelanjutan dan kemaslahatan hidup ini bukan kaleng-kaleng. Pori-pori hidup bersama dapat mengalami disfungsi kalau piranti POLRI dan Universitas tidak dapat menyensor dan memblokir virus-virus terorisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun