Pada tulisan saya sebelumnya, saya membeberkan temuan para saintis yang digaungkan kembali oleh sejarawan dan penulis trilogi best-seller (Homo Sapiens, Homo Deus, 21 Lessons in 21 Century), Yuval Noah Harari.Â
Menurut Harari di dalam buku keduanya, Homo Deus, para ilmuwan sains, terutama psikiatri, menemukan di dalam kajian mereka bahwa tidak ada hati nurani atau suara hati, kehendak bebas, dan otonomi di dalam diri individu.Â
Setelah mengobrak-abrik tubuh manusia, membongkar semua elemen penyusunnya, tidak ditemukan satu onggokan daging atau gumpalan saraf yang menjadi sumber gagasan-gagasan moral di atas.Â
Semua ritme organis-biologis dan mental individu tidak lebih dari tanggapan (reaksi) atas gelombang elektromagnetik yang dilepaskan oleh otak (brain). Jatuh cinta, nafsu, marah, sedih, bahagia, atau depresi adalah permainan otak.
Bila menganalisis seluruh isi dua buku awal dari triloginya, hati nurani dan suara hati, kehendak bebas, otonomi adalah hasil rekayasa fiktif homo sapiens dengan kemampuan story-telling-nya yang bertujuan menyatukan seluruh spesies homo sapiens untuk menaklukan homo lain seperti Neanderthal, Homo Erectus, Paleo Javanicus, Homo Florensis, dan hewan-hewan raksasa lain.Â
Alhasil, homo sapiens yang berasal dari Afrika menjadi penguasa tunggal di jagat bumi hingga saat ini. Temuan para saintis terbaru membuktikan homo sapiens pernah kawin-mawin dengan homo lain untuk menggagas rekonsiliasi hidup bersama. Namun, tetapi diakui bahwa hormon homo sapiens lebih dominan.
Temuan para saintis ini secara tidak langsung membongkar kedok di balik instansi kehendak bebas, hati nurani-suara hati, dan otonomi yang dielu-elukan sebagai fondasi kemanusiaan.Â
Pelembagaan hak asasi manusia dan hak-hak turunan lain persis berada di atas fondasi dasariah ini. Agama-agama dan kiblat sosio-politik-ekonomi membangun tatanan di atas rekayasa moral ini. Karena itu, bila temuan para saintis benar, agama-agama, paradigma politik-ekonomi, dan lembaga-lembaga kemanusiaan harus menggulung tikar.
Kenyataan bahwa peradaban manusia tidak dapat dikembalikan ke titik nol untuk merevisi diri dan memulai peradaban di atas fondasi baru mungkin hanyalah ketakutan atas kekhaosan dan saling membunuh yang berujung pada pemusnahan spesies homo sapiens.Â
Kekokohan peradaban manusia di atas fondasi fiksi yang rapuh hingga hari ini juga adalah keberhasilan saling menipu homo sapiens. Bukankah memang mereyakasa atau ber-rasionalisasi adalah kemampuan khas homo sapiens, manusia sekarang?
Namun apakah benar demikian? Tatanan belum mengadopsi temuan para saintis karena ketakutan atau hasil dari rekayasa manusia? Atau memang fondasi-fondasi prinsip moral di atas masih ada, belum dibuktikan nihil oleh para ilmuwan?Â
Mari kita mencari. Kita mengusung misi pencarian kelana hati nurani-suara hati, kehendak bebas, dan otonomi. Kalau memang ada, di manakah kantong persembunyian mereka? Apa kompasnya?
Melacak keberadaan instansi moral di Myanmar
Sejak 1 Februari 2021, masyarakat Myanmar mengalami kegoncangan sosio-politik. Tatkala pandemi Covid-19 masih melanda, pemberontakan menjamur di berbagai sudut, Junta Militer, yang dikenal dengan sebutan terkenalnya Tatmadaw, melancarkan kudeta terhadap rezim pemerintah dan partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) dibawa kepemimpinan putri jenderal besar pejuang kemerdekaan Myanmar, Aung San Suu Kye. Dalih Tatmadaw ialah NLD berkonco dengan komisi pemilihan umum Myanmar untuk bertindak curang.Â
Tatmadaw mengklaim kemenangan mutlak NLD atas USDA (Asosiasi Persatuan Solidaritas dan Pembangunan), partai besutan militer, adalah rekayasa klientisme hasil suara NLD dan KPU Myanmar. Karena itu, Tatmadaw menuntut KPU membuka daftar suara pemilu yang sebenarnya dan mengadakan pemilu ulang.Â
KPU bersikeras mengatakan bahwa mereka indepen selama pagelaran sayembara politik di negeri yang baru bertumbuh benih demokrasinya. Karena himbauan Tatmadaw tidak diindahkan KPU dan rezim Presiden Win Myint, militer menerobos garis-garis demarkasi haluan demokrasi.Â
Belakangan, militer sepihak menuduh Aung San Suu Kye melakukan korupsi dengan menerima uang suap lebih dari 550 ribu dolar Amerika Serikat atau sekitar 704,79 juta kyat.
Menanggapi kecorobohan dan kelancangan Tatmadaw, gelombang demonstrasi beruntun memenuhi seluruh kota-kota besar Myanmar.Â
Ribuan warga, dari selebriti hingga masyarakat pedesaan, memenuhi alun-alun kota Myanmar untuk menuntut Militer Myanmar membebaskan pemimpin demokrasi mereka yang terpilih secara konstitusional. Warga mendesak hak suara politik mereka dihargai Tatmadaw.
Awalnya demonstrasi berlangsung damai. Perlahan keriuhan muncul, semakin menanjak, dan memuncak. Kran-kran ekonomi tersumbat. Nadi-nadi sosio-politik berhenti berdenyut.Â
Negara dan bangsa berada di ujung tanduk. Hanya sedikit nafas masih terisak-saik di bantaran aliran hidup. Militer merasa terhina oleh demonstran. Militer yakin menjadi korban yang difitnah oleh hasutan kebejatan rezim dan NLD. Merasa dilecehkan, Militer membunyikan senapan yang mengeluarkan timah tajam.Â
Alhasil, ratusan nyawa melayang. Banjir darah. Air mata dan tangisan beriringan. Teriakan amarah dan kebungkaman sedih beririsan. Ribuan demonstran ditangkap dan disiksa.Â
Ruas-ruas lapas penuh, tidak tersisa ruang kosong. Negara yang baru saja menikmati udara segar demokrasi ini mendadak menjadi riuh oleh angin ribut sahut-sahutan dentuman senjata dan teriakan histeris korban.
Menariknya, di tengah keresahan nasional ini, terjadi beberapa peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Kurang lebih ada tiga peristiwa yang memancing lirikan mata.Â
Pertama, seorang polisi Myanmar bernama Tha Peng menolak instruksi untuk menembak demonstran. Ia merasa demonstran tidak bersalah sehingga tidak layak dicabut nyawa dengan timah sepotong. Ia kemudian melarikan diri ke India. Kisah ini diangkat media pada 11 Maret.Â
Beberapa polisi dan tentara juga melakukan hal yang sama: menolak menembak, menangis, membuang senjatanya, lalu melarikan diri dari kelompoknya, dan hirjah ke negara tetangga: India dan Thailand. Pembangkangan internal terhadap junta militer ini ramai diberitakan oleh media pada 17 Maret.
Kedua, sekelompok polisi anti-huru hara ditugaskan untuk menghadang demonstran secara damai. Di tengah dinamika demonstrasi damai tersebut, mobil Baracuda yang bertengki air berzat menembak demonstran yang tak bersenjata.Â
Tembakan Baracuda tersebut tentu saja menimbulkan sakit pada demonstran lantaran tekanan pada tembakan tersebut memiliki masa berat tertentu. Para demonstran terlempar berserakan.Â
Namun mereka tetap maju ke tempat semula tanpa membalas apparat kepolisian dengan lemparan batu atau makian. Menyaksikan para demonstran yang tak bersalah diporak-porandakan, seorang polisi yang kala itu tengah berbaris di depan, langsung berhadapan dengan demonstran, meninggalkan kelompoknya. Ia memakai perisai anti-huru haranya untuk melindungi warga demonstran dari tembakan keras air Baracuda.Â
Dua rekan polisinya mengikut jejak pembangkangannya. Berkali-kali teman-teman polisi lainnya menarik mereka dari lingkaran demonstran, tetapi mereka menolak dalam kebisuan. Mereka berkanjang memasang punggung untuk melindungi warga. Kisah heroik ini memenuhi relung jagat maya sejak 12 Februari.
Ketiga, sekelompok polisi wanita (Polwan) muda berparas menawan memesona yang  ditugaskan untuk menghadang demonstran warga kecil di Myanmar Timur, Negara Bagian Kayah, membelot ke kelompok demonstran. Setiba di area demonstrasi, mereka memilih berdiri bersama para demonstran, mengangkat tiga jari, dan meneriakan hak-hak sipil warga. Peristiwa ini menjadi viral di media sosial sejak 11 Februari.
Ketiga peristiwa heroik di atas sangat sulit bila dikatakan sebagai hasil kalkulasi nalar. Orientasi akal biasanya ekonomis. Fakultas akal meneropong setiap persoalan dengan kaca mata matematika untung-rugi.Â
Keputusan akal biasanya jatuh pada hukum efektivitas dan efisiensi. Jalan yang efektif, efisien, tidak merugikan, dan akurat adalah jalur tempuh akal. Maka pembangkangan para eksponen polisi dan tentara di atas sudah pasti bukan keputusan akal. Tidak ada untungnya memilih membela para demonstran. Malah rugi berlapis-lapis.Â
Mereka pasti kehilangan pekerjaan dan jabatan. Sumber hidup dipangkas. Padahal Myanmar juga masih dilanda pandemi, kondisi krisis yang merangsek bahkan ke dalam sekat-sekat privat.Â
Tidak hanya kehilangan sumber hidup, nyawa mereka juga terancam. Mereka akan diburu bekas kroninya dengan senjata. Kalaupun pembelotan mereka dengan iming-iming mendapatkan posisi tinggi tatkala Myanmar kembali ke jalur demokrasi, mereka sedang berfantasi.Â
Tidak ada logika kepastian itu. Probalitas carut-marut malah lebih jelas diprediksi. Mimpi di siang bolong tentu saja tidak dapat menjadi dorongan pada pilihan tindakan, kecuali orang sudah menjadi gila. Maka, pembelotan para mantan aparat di atas bergelayut pada keputusan hati. Mengapa?
Keputusan hati
Di dalam tradisi filsafat klasik, terutama saling sikut secara elegan antara intelektualisme dan voluntarisme pada Abad Pertengahan (era medieval) dengan tokoh utama Thomas Aquinas dan Bonaventura, mereka mengakui bahwa tugas akal sekadar mengkalkulasi data mentah yang disuplai indra lalu menyodorkan data sintetis kreatif tersebut ke kehendak bebas (Bdk. Simplesius Sandur, Filsafat Politik & Hukum Thomas Aquinas, 2019).Â
Di kemudian hari, konsep kehendak bebas digonta-ganti dengan akal budi praktis. Misalnya oleh Kant, para Kantian dan Aristotelian. Meskipun labelnya berbeda, general type dari isinya sama.
Hati secara organik adalah elemen tubuh yang mampu menetralisir racun. Kaum wanita memiliki porsi hati lebih dari kaum pria sehingga hati wanita lebih mampu menahan infiltrasi racun depresi, stres, benci, dan atau amarah.Â
Kolaborasi onggokan daging hati ini dan akal mengorbitkan saringan moral. Dari fungsi biologis hati dan suntikan mental akal inilah, fakultas nurani bereksplorasi.
Hati nurani secara filosofis dipahami sebagai instansi internal manusia yang memiliki hak moral untuk memutuskan sesuatu sebagai baik atau buruk.Â
Sementara itu, suara hati tidak lain dari keputusan hati nurani. Suara yang terngiang-ngiang dalam diri individu tatkala berada dalam situasi kritis, saat yang baik dan salah hanya berwajah abu-abu, disebut sebagai suara hati nurani.
Para sosiolog dan psikolog sosial mengatakan tidak ada hati nurani individu di dalam dirinya sendiri. Hati nurani adalah internalisasi nilai-nilai sosial yang diperoleh individu dari sosialisasi dengan linkungan sekitar.Â
Dengan kata lain, hati nurani adalah instalasi long-term nilai-nilai lingkungan sosial individu. Lingkungan sosial yang dimaksud antara lain keluarga, terutama orangtua yang menjadi anutan utama individu sejak kecil, teman bermain, lingkungan masyarakat, sekolah, lembaga agama, dan afiliasi individu lainnya. Maka, tidak ada self individu. Self individu hanyalah pasokan bahan dari self publik. Self individu adalah penjelmaan self publik oleh ego.
Asumsi di atas hanya separuh benar. Harus dicatat bahwa secara biologis, setiap individu memiliki genom yang berbeda. Perbedaan genom homo sapiens dan simpanse adalah 2%, samanya 98%. Namun perbedaan 2% ini sangat krusial sehingga manusia sungguh berbeda dengan simpanse. Perbedaan genom antara individu sendiri berkisar 1 koma, sedangkan perbedaan genom individu dan orangtuanya berkisar 0,001 sekian. Meskipun demikian, perbedaannya sungguh riil. Karena itu, tidak ada seorang anak yang persis sama dengan orangtuanya. Kalau sama, pencipta pasti mengalami cacat berpikir. Matematika dan logika sang pencipta patut dipertanyakan. Terbukti, anak kembar pun pasti memiliki perbedaan dalam banyak hal. Maka, self individu tentu saja tidak bersimetris mutlak dengan self publik. Harus diandaikan terdapat berbedaan. Minimal blue print individu yang diwariskan dari orangtuanya dan tetap berbeda memiliki piranti sensor atau kotak khusus yang mengfilter infilterasi nilai-nilai sosial. Konsekuensi logisnya, hati nurani-suara hati, dan kehendak bebas yang menandai otonomi individu di tengah hiruk-pikuk masa sosial memiliki keberadaan.
Kehendak bebas adalah lembaga yang memiliki previlese eksklusif untuk memutuskan data mana yang harus dipilih untuk menjadi tindakan. Data yang ditransfer dari akal hanyalah referensi tanpa paksaan, rujukan tak berotoritas. Kehendak sebebas-bebasnya memutuskan. Meskipun masih terdapat saling serempet antara akal dan kehendak: saya menghendaki dulu baru mengetahui atau mengetahui dulu baru menghendaki, lazim diterima bahwa otoritas akal hanyalah  suplemen terhadap kehendak. Banyak kali kita bahkan bertindak tanpa kalkulasi rasional, di luar kontrol nalar. Insting dan kesadaran alam bawah sadar lebih sering menggiring langkah manusia.
Dengan demikian, keputusan para mantan polisi dan tentara untuk berada di gerbong yang sama dengan para demonstran adalah keputusan kehendak bebas. Mereka memutuskan berdasarkan titah nurani. Di dalam ketidakpastian justru otonomi pribadi mereka berdiri kokoh. Hati nurani makin kelihatan, gigitan suara hati makin terasa, tatkala orang berada pada situasi di mana batas antara hidup dan mati blurred. Fase kritis, momentum akal memilih melarikan diri, justru menyaringkan suara hati, membebaskan kehendak dari rayuan akal, mendewasakan otonomi persona.
Para ilmuwan mengklaim ketiadaan kehendak bebas, nurani, dan otonomi karena pengamatan mereka sebatas aktivitas biologis-organik dan mental. Mereka tidak memiliki metode untuk membaca pergulatan spiritual dan moral yang timbul dari kontraksi biologis dan mental: fase ketika akal kehilangan taring, buta untuk menemukan kebenaran hakiki, tidak ada jeda untuk berefleksi, silogisme melompat ke kesimpulan, terburu-buru memutuskan. Aksi heroik tanpa kalkulasi untung-rugi para mantan polisi dan tentara di atas membuktikan ada yang salah dengan tilikan mata para ilmuwan. Ilmuwan tidak salah dalam melihat. Mereka hanya mungkin lupa bahwa cara mereka melihat adalah juga cara mereka tidak melihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H