Ruas-ruas lapas penuh, tidak tersisa ruang kosong. Negara yang baru saja menikmati udara segar demokrasi ini mendadak menjadi riuh oleh angin ribut sahut-sahutan dentuman senjata dan teriakan histeris korban.
Menariknya, di tengah keresahan nasional ini, terjadi beberapa peristiwa yang sulit diterima akal sehat. Kurang lebih ada tiga peristiwa yang memancing lirikan mata.Â
Pertama, seorang polisi Myanmar bernama Tha Peng menolak instruksi untuk menembak demonstran. Ia merasa demonstran tidak bersalah sehingga tidak layak dicabut nyawa dengan timah sepotong. Ia kemudian melarikan diri ke India. Kisah ini diangkat media pada 11 Maret.Â
Beberapa polisi dan tentara juga melakukan hal yang sama: menolak menembak, menangis, membuang senjatanya, lalu melarikan diri dari kelompoknya, dan hirjah ke negara tetangga: India dan Thailand. Pembangkangan internal terhadap junta militer ini ramai diberitakan oleh media pada 17 Maret.
Kedua, sekelompok polisi anti-huru hara ditugaskan untuk menghadang demonstran secara damai. Di tengah dinamika demonstrasi damai tersebut, mobil Baracuda yang bertengki air berzat menembak demonstran yang tak bersenjata.Â
Tembakan Baracuda tersebut tentu saja menimbulkan sakit pada demonstran lantaran tekanan pada tembakan tersebut memiliki masa berat tertentu. Para demonstran terlempar berserakan.Â
Namun mereka tetap maju ke tempat semula tanpa membalas apparat kepolisian dengan lemparan batu atau makian. Menyaksikan para demonstran yang tak bersalah diporak-porandakan, seorang polisi yang kala itu tengah berbaris di depan, langsung berhadapan dengan demonstran, meninggalkan kelompoknya. Ia memakai perisai anti-huru haranya untuk melindungi warga demonstran dari tembakan keras air Baracuda.Â
Dua rekan polisinya mengikut jejak pembangkangannya. Berkali-kali teman-teman polisi lainnya menarik mereka dari lingkaran demonstran, tetapi mereka menolak dalam kebisuan. Mereka berkanjang memasang punggung untuk melindungi warga. Kisah heroik ini memenuhi relung jagat maya sejak 12 Februari.
Ketiga, sekelompok polisi wanita (Polwan) muda berparas menawan memesona yang  ditugaskan untuk menghadang demonstran warga kecil di Myanmar Timur, Negara Bagian Kayah, membelot ke kelompok demonstran. Setiba di area demonstrasi, mereka memilih berdiri bersama para demonstran, mengangkat tiga jari, dan meneriakan hak-hak sipil warga. Peristiwa ini menjadi viral di media sosial sejak 11 Februari.
Ketiga peristiwa heroik di atas sangat sulit bila dikatakan sebagai hasil kalkulasi nalar. Orientasi akal biasanya ekonomis. Fakultas akal meneropong setiap persoalan dengan kaca mata matematika untung-rugi.Â
Keputusan akal biasanya jatuh pada hukum efektivitas dan efisiensi. Jalan yang efektif, efisien, tidak merugikan, dan akurat adalah jalur tempuh akal. Maka pembangkangan para eksponen polisi dan tentara di atas sudah pasti bukan keputusan akal. Tidak ada untungnya memilih membela para demonstran. Malah rugi berlapis-lapis.Â