Mereka pasti kehilangan pekerjaan dan jabatan. Sumber hidup dipangkas. Padahal Myanmar juga masih dilanda pandemi, kondisi krisis yang merangsek bahkan ke dalam sekat-sekat privat.Â
Tidak hanya kehilangan sumber hidup, nyawa mereka juga terancam. Mereka akan diburu bekas kroninya dengan senjata. Kalaupun pembelotan mereka dengan iming-iming mendapatkan posisi tinggi tatkala Myanmar kembali ke jalur demokrasi, mereka sedang berfantasi.Â
Tidak ada logika kepastian itu. Probalitas carut-marut malah lebih jelas diprediksi. Mimpi di siang bolong tentu saja tidak dapat menjadi dorongan pada pilihan tindakan, kecuali orang sudah menjadi gila. Maka, pembelotan para mantan aparat di atas bergelayut pada keputusan hati. Mengapa?
Keputusan hati
Di dalam tradisi filsafat klasik, terutama saling sikut secara elegan antara intelektualisme dan voluntarisme pada Abad Pertengahan (era medieval) dengan tokoh utama Thomas Aquinas dan Bonaventura, mereka mengakui bahwa tugas akal sekadar mengkalkulasi data mentah yang disuplai indra lalu menyodorkan data sintetis kreatif tersebut ke kehendak bebas (Bdk. Simplesius Sandur, Filsafat Politik & Hukum Thomas Aquinas, 2019).Â
Di kemudian hari, konsep kehendak bebas digonta-ganti dengan akal budi praktis. Misalnya oleh Kant, para Kantian dan Aristotelian. Meskipun labelnya berbeda, general type dari isinya sama.
Hati secara organik adalah elemen tubuh yang mampu menetralisir racun. Kaum wanita memiliki porsi hati lebih dari kaum pria sehingga hati wanita lebih mampu menahan infiltrasi racun depresi, stres, benci, dan atau amarah.Â
Kolaborasi onggokan daging hati ini dan akal mengorbitkan saringan moral. Dari fungsi biologis hati dan suntikan mental akal inilah, fakultas nurani bereksplorasi.
Hati nurani secara filosofis dipahami sebagai instansi internal manusia yang memiliki hak moral untuk memutuskan sesuatu sebagai baik atau buruk.Â
Sementara itu, suara hati tidak lain dari keputusan hati nurani. Suara yang terngiang-ngiang dalam diri individu tatkala berada dalam situasi kritis, saat yang baik dan salah hanya berwajah abu-abu, disebut sebagai suara hati nurani.
Para sosiolog dan psikolog sosial mengatakan tidak ada hati nurani individu di dalam dirinya sendiri. Hati nurani adalah internalisasi nilai-nilai sosial yang diperoleh individu dari sosialisasi dengan linkungan sekitar.Â