Dengan kata lain, hati nurani adalah instalasi long-term nilai-nilai lingkungan sosial individu. Lingkungan sosial yang dimaksud antara lain keluarga, terutama orangtua yang menjadi anutan utama individu sejak kecil, teman bermain, lingkungan masyarakat, sekolah, lembaga agama, dan afiliasi individu lainnya. Maka, tidak ada self individu. Self individu hanyalah pasokan bahan dari self publik. Self individu adalah penjelmaan self publik oleh ego.
Asumsi di atas hanya separuh benar. Harus dicatat bahwa secara biologis, setiap individu memiliki genom yang berbeda. Perbedaan genom homo sapiens dan simpanse adalah 2%, samanya 98%. Namun perbedaan 2% ini sangat krusial sehingga manusia sungguh berbeda dengan simpanse. Perbedaan genom antara individu sendiri berkisar 1 koma, sedangkan perbedaan genom individu dan orangtuanya berkisar 0,001 sekian. Meskipun demikian, perbedaannya sungguh riil. Karena itu, tidak ada seorang anak yang persis sama dengan orangtuanya. Kalau sama, pencipta pasti mengalami cacat berpikir. Matematika dan logika sang pencipta patut dipertanyakan. Terbukti, anak kembar pun pasti memiliki perbedaan dalam banyak hal. Maka, self individu tentu saja tidak bersimetris mutlak dengan self publik. Harus diandaikan terdapat berbedaan. Minimal blue print individu yang diwariskan dari orangtuanya dan tetap berbeda memiliki piranti sensor atau kotak khusus yang mengfilter infilterasi nilai-nilai sosial. Konsekuensi logisnya, hati nurani-suara hati, dan kehendak bebas yang menandai otonomi individu di tengah hiruk-pikuk masa sosial memiliki keberadaan.
Kehendak bebas adalah lembaga yang memiliki previlese eksklusif untuk memutuskan data mana yang harus dipilih untuk menjadi tindakan. Data yang ditransfer dari akal hanyalah referensi tanpa paksaan, rujukan tak berotoritas. Kehendak sebebas-bebasnya memutuskan. Meskipun masih terdapat saling serempet antara akal dan kehendak: saya menghendaki dulu baru mengetahui atau mengetahui dulu baru menghendaki, lazim diterima bahwa otoritas akal hanyalah  suplemen terhadap kehendak. Banyak kali kita bahkan bertindak tanpa kalkulasi rasional, di luar kontrol nalar. Insting dan kesadaran alam bawah sadar lebih sering menggiring langkah manusia.
Dengan demikian, keputusan para mantan polisi dan tentara untuk berada di gerbong yang sama dengan para demonstran adalah keputusan kehendak bebas. Mereka memutuskan berdasarkan titah nurani. Di dalam ketidakpastian justru otonomi pribadi mereka berdiri kokoh. Hati nurani makin kelihatan, gigitan suara hati makin terasa, tatkala orang berada pada situasi di mana batas antara hidup dan mati blurred. Fase kritis, momentum akal memilih melarikan diri, justru menyaringkan suara hati, membebaskan kehendak dari rayuan akal, mendewasakan otonomi persona.
Para ilmuwan mengklaim ketiadaan kehendak bebas, nurani, dan otonomi karena pengamatan mereka sebatas aktivitas biologis-organik dan mental. Mereka tidak memiliki metode untuk membaca pergulatan spiritual dan moral yang timbul dari kontraksi biologis dan mental: fase ketika akal kehilangan taring, buta untuk menemukan kebenaran hakiki, tidak ada jeda untuk berefleksi, silogisme melompat ke kesimpulan, terburu-buru memutuskan. Aksi heroik tanpa kalkulasi untung-rugi para mantan polisi dan tentara di atas membuktikan ada yang salah dengan tilikan mata para ilmuwan. Ilmuwan tidak salah dalam melihat. Mereka hanya mungkin lupa bahwa cara mereka melihat adalah juga cara mereka tidak melihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H