Mohon tunggu...
AILA Indonesia
AILA Indonesia Mohon Tunggu... -

Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia adalah aliansi antar lembaga yang peduli pada upaya pengokohan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendegradasi Nilai, Membenarkan Zina dengan Logika

22 November 2016   13:54 Diperbarui: 22 November 2016   14:02 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup berani anak muda itu melangkah menemui Rasulullah yang sedang tak sendiri. Ada orang lain di sekitar Rasulullah yang akan mendengar permintaan anak muda itu dan bisa saja bereaksi hebat. Tapi anak muda itu bergeming. Ia melangkahkan kakinya. Dan saat tepat di hadapan Rasulullah, ia bersuara.

"Ya Rasulullah, izinkan aku berzina!"

Siapa dia? Apa pangkatnya? Lancang sekali memerintahkan Rasulullah untuk mengeluarkan izin berbuat maksiat. Orang-orang di sekitar Rasulullah tak habis pikir dengan anak muda ini. Tak ada kah sedikit rasa malu untuk mengajukan permintaan kurang ajar seperti itu?

Di tengah keterkejutan dan kemarahan spontan orang-orang di sekitarnya, Rasulullah malah tak menampakkan raut murka. Ia paham, ada gejolak yang hebat di dalam tubuh anak muda itu. Rasulullah tahu, permintaan tadi tak pantas. Tapi inisiatif anak muda ini menemui Rasulullah adalah sesuatu yang harus diapresiasi. Bisa saja ia turuti nafsunya dan berzina dengan wanita yang ia mau. Tapi anak muda ini masih punya rasa takut kepada Allah sehingga datang mengadu kepada Rasulullah.

Memang, dengan permintaan seperti itu di depan khalayak, seolah-olah anak muda ini sudah kehilangan rasa malu. Tetapi ada sesuatu yang bisa disentuh oleh Rasulullah. Dan beliau saw tahu menanganinya.

“Mendekatlah!” ujar Rasulullah.

Anak muda itu pun menerobos kepungan orang-orang dan duduk di dekat Rasulullah.

“Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada ibumu?” tanya Rasulullah.

Jleb. Si anak muda tak pernah menyangka akan diajukan pertanyaan semacam itu.

“Tidak, demi Allah ya Rasul,” jawabnya.

“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka berzina,” ungkap Rasulullah. 

"Bagaimana kalau adikmu berbuat begitu?" tanya Rasulullah lagi. 

"Tidak, ya Rasul." Jawab si pemuda. Ia tentu jijik membayangkan adiknya berzina dengan orang lain.

“Demikian pula manusia tidak menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka," terang Rasulullah.

“Kalau putrimu?” tanya Rasulullah lagi.

"Tidak ya Rasul."

"Begitu pula orang-orang, tak kan rela anak putrinya berzina.

Kalau bibimu?"

"Tidak ya Rasul."

"Orang-orang pun tak rela bibinya berzina."

Telak. Argumen Rasulullah cukup telak menyentuh logika si anak muda. Juga hati kecilnya yang terlanjur membayangkan orang-orang terdekatnya berzina. Tak rela bila itu sampai terjadi.

Ending dari cerita ini, Rasulullah kemudian meletakkan tangan kokoh nan lembutnya ke dada si anak muda, dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”

*****

Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani. Terjadi pada sekitar 14 abad yang lalu. Di saat peradaban manusia, khususnya di Madinah, masih memiliki standar moral yang terjaga.

Kalau hasrat berzina itu menimpa anak muda di zaman sekarang, lantas ia adukan kepada orang tuanya, kira-kira apa jawaban orang tua? Saya yakin masih banyak yang tak kan mengizinkan, bahkan murka mendengar permintaan macam itu. Tapi jangan salah, ada kok orang tua yang mengizinkan.

Simak kisah Nia Dinata, seorang sutradara dan produser film, seperti yang dikutip oleh Okezone di sini.

---

“Saya pernah tersentak ketika anakku bilang, Mom aku ingin nabung dan pergi ke Belanda menikmati seks. Karena di sana bebas dan legal,” sejenak ia pergi ke kamar mandi dan mengucurkan air mata karena anaknya bilang seperti itu. Dia mencoba bersikap tenang dan menanggapinya. “Kamu tahu dari siapa? Tanyanya. “Dari teman-teman di sekolah,” jawab anaknya.

Menghadapi semacam itu, Nia mengatakan remaja harus diberi arahan dan diberi pengetahuan tentang pendidikan seks. Bahkan menanggapi pernyataan anaknya sebagaimana disebut atas. Dia tak segan-segan memberi izin pada anaknya, dengan catatan, anaknya harus memiliki pengetahuan tentang pendidikan seks.

Di samping itu, dia menyatakan kepada anaknya, untuk melakukan seks tidak harus pergi jauh-jauh dari Indonesia. Silakan kamu lakukan di Tanah Air tapi kamu harus tahu tentang bagaimana penyakit menular, HIV/AIDS dan lain sebagainya.

“Silakan kamu melakukan itu dengan pacarmu tapi dengan syarat sama-sama mau. Tapi kamu tahu dulu tentang sex education. Tentunya, satu sama lain harus bisa bertanggung jawab atas perbuatannya,” katanya.

---

Dari kutipan artikel di atas, kita temukan di zaman sekarang ada ibu yang mengizinkan anaknya menikmati seks yang bebas seperti di Belanda. Si ibu bukannya menyarankan menikmati seks bersama pasangan nikah (suami atau istri), tetapi malah mempersilakan menikmatinya dengan pacar. Satu pesannya, asal mau sama mau dengan mengerti sex education.

Tak berlaku lagi nilai moral bahwa seks di luar nikah adalah hal yang terlarang. Nilai itu runtuh dilindas oleh logika yang membenarkan perilaku zina. Masih dalam artikel tersebut, di paragraf lain tentang pandangan Nia Dinata terhadap seks pra nikah terulas seperti berikut:

---

Kembali pada persoalan seks pra nikah di kalangan remaja yang semakin menjamur maka yang paling dibutuhkan sekarang adalah pendidikan seks yang sehat. Menjelaskan bagaimana tentang penyakit menular dan bahaya seperti HIV/AIDS.

“Hal yang paling penting adalah memberi pengetahuan tentang pendidikan seks sehat dan bahaya penyakit menular layaknya HIV AIDS,” kata dia.

---

Menurut Nia Dinata, yang terpenting adalah pendidikan seks dan kesadaran penyakit menular. Bukan pernikahan yang menjadi legalitas sebuah hubungan seks. Institusi pernikahan tak diperlukan lagi manakala pendidikan seks telah terpenuhi.

Logika pembenaran yang lain belakangan terlihat pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam agenda judicial review oleh Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP yang dianggap tidak melindungi masyarakat dari maraknya zina. Dalam persidangan yang digelar beberapa kali itu (sampai tulisan ini dibuat, belum ada keputusan oleh Majelis Hakim), turut diundang pihak-pihak yang ingin mempertahankan pasal-pasal tersebut.

Argumentasi pihak yang menolak adanya judicial review adalah karena seks merupakan ranah privat. “Negara tidak usah ikut campur, ini urusan badan saya,” begitu alasan mereka.

Contohnya kala Roichatul Aswidah menyampaikan pandangannya sebagai ahli dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kamis 22 September 2016 lalu. Menurutnya, hak-hak privat manusia harus dihormati. Salah satunya adalah aktivitas seksual seseorang. “Hal ini berlaku bagi perilaku seksual dari seseorang dalam ranah privat atau konsumsi pornografi dalam ranah privat,” ujarnya. (Lihat tautan ini)

“Regulasi yang mengatur perilaku seksual dalam hal ini harus secara hati-hati. Apabila tidak, maka kemudian dapat merupakan sebuah intervensi yang sewenang-wenang atas hak privasi,” ungkapnya lagi.

Logika-logika seperti ini telah menepiskan nilai moral yang berlaku di masyarakat, bahwa zina adalah sesuatu yang terlarang bahkan menjijikkan. Bagi mereka yang membenarkan perilaku zina, individu menjadi kebas nilai dan terlindung dalam ranah privatnya. Mereka mau berbuat apa pun terserah mereka selama itu di dalam ruang privat.

Berbeda dengan tatkala Rasulullah mengajak anak muda dalam cerita di atas untuk membayangkan bila orang-orang dekatnya berzina. Spontan akan menimbulkan rasa jijik dan ketidak relaan. Itu karena mereka saling berpijak pada nilai yang sama.

Kelak, bila logika-logika para pembenar perzinaan ini beredar luas, maka tak akan ada lagi anak yang tak rela orang tuanya berzina. Inginkah kita bila keadaan masyarakat mejadi seperti itu?

Sesungguhnya logika mereka bukan tanpa bantahan. Logika bahwa yang terpenting seks itu aman dan sehat, adalah keliru karena tak ada seks bebas yang sehat. Dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK, dokter ahli yang tiap hari berhadapan dengan para penderita penyakit kelamin akitbat seks menyimpang, mempersaksikan apa yang dialaminya.

“Orang seenaknya saja membela zina atas nama kebebasan. Kami, para dokter, yang menyaksikan akibatnya setiap hari. Ada laki-laki yang datang dengan penyakit kelamin yang tidak mungkin tidak karena zina. Awalnya tidak mau mengaku, tapi setelah saya paksa barulah ia mengaku. Memang penyakitnya tak mungkin datang begitu saja, kecuali dengan berganti-ganti pasangan,” ungkapnya saat menjadi pembicara Seminar Kebangsaan “Reformulasi KUHP Delik Kesusilaan dalam Bingkai Nilai-nilai Keindonesiaan” di Senayan, Jakarta, 26 September 2016 lalu.

“Setiap tahun saya ikut konferensi internasional, dan kemarin saya baru pulang dari Amerika Serikat juga. Di situ semua ahli dalam bidang penyakit kelamin berkumpul, dan kita menyaksikan sendiri betapa dunia sudah semakin menyeramkan,” terangnya lagi.

Justru bila seseorang mengerti pendidikan seks yang benar, maka ia akan menghindari seks bebas bergonta-ganti pasangan dan memilih menyalurkan hasratnya dalam ikatan pernikahan yang legal.

Sekaligus logika bahwa aktivitas seks berada dalam ranah privat menjadi terbantahkan. Karena zina akan menimbulkan penyakit yang menular ke tengah masyarakat. Mungkin aktivitasnya privat, tapi efek yang ditimbulkannya tidak.

Logika pembenaran untuk berzina adalah suatu yang menipu. Masyarakat harus kritis menghadapi pengusung logika itu. Nilai yang dianut kini sudah tepat. Jangan mau nilai itu didegradasi oleh logika yang rapuh.

*) Ditulis oleh: Zico Alviandri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun