Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Makam Palsu, Bisnis Berkedok Spiritual

25 Januari 2025   18:00 Diperbarui: 25 Januari 2025   14:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ziarah kubur. (KOMPAS/DIDIE SW)

Lalu, bagaimana makam palsu ini bisa muncul?  Mengutip artikel Tirto, bahwa makam-makam ini seringkali dibuat berdasarkan mimpi atau firasat, tanpa bukti sejarah yang kuat.  

Seseorang tiba-tiba bermimpi didatangi tokoh tertentu, lalu mendirikan makam di lokasi yang diimpikan.  

Awalnya mungkin niatnya tulus, sekadar menghormati atau melestarikan ingatan tentang tokoh tersebut.

Seiring waktu, makam-makam ini kemudian dikeramatkan, disebarkan cerita-cerita ajaib, dan tanpa disadari, mulai menarik perhatian peziarah.  

Dari sinilah pintu bisnis itu terbuka lebar.  Masyarakat sekitar atau oknum ormas tertentu mulai melihat potensi ekonomi dari keramaian peziarah ini.  

Makam yang awalnya mungkin dibangun dengan niat sederhana, perlahan bertransformasi menjadi mesin uang.

Ziaulhaq Hidayat dalam bukunya "Kuasa Kelas Bawah dan Bisnis Berkah di Makam Wali",  menjelaskan fenomena ini dengan istilah "bisnis berkah".  

Tempat-tempat yang dikeramatkan, termasuk makam, memang punya daya tarik tersendiri bagi pengelola dan peziarah yang punya kepentingan masing-masing.  

Pengelola melihat peluang ekonomi, sementara peziarah berharap mendapatkan berkah atau terkabulnya hajat.  

Dalam konteks makam palsu, "berkah" yang dicari peziarah ini menjadi ironi, karena esensi dari tempat yang dikeramatkan itu sendiri sebenarnya tidak ada.

Ekonomi, Distorsi Sejarah, hingga Propaganda

Motif pembuatan makam palsu ini pun beragam, tapi yang paling dominan tentu saja motif ekonomi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun