Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Mengapa Keterwakilan Perempuan di Bidang AI Masih Minim?

25 Desember 2024   21:41 Diperbarui: 25 Desember 2024   21:41 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita di bidang AI (Gambar diolah dengan SuperAI)

Keterlibatan perempuan dalam AI masih rendah, menciptakan tantangan dan harapan untuk solusi yang lebih inklusif. 

Kalau bicara soal teknologi, khususnya kecerdasan buatan alias AI, rasanya seperti sedang mengintip masa depan. Tapi ada satu pertanyaan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Kenapa ya, perempuan masih sulit untuk benar-benar terlihat di sektor ini?

Statistik yang Membuka Mata

Menurut laporan dari UN Women, hanya 30% pekerja di bidang AI adalah perempuan. Dari angka ini saja, sudah jelas ada ketimpangan besar. 

Forbes (2024) juga mencatat bahwa perempuan hanya menyusun 29% dari total tenaga kerja AI secara global. 

Ini bukan sekadar soal angka, tapi dampaknya jauh lebih besar. Ketika perempuan kurang terwakili, teknologi yang dihasilkan pun cenderung tidak inklusif. Bayangkan, sistem AI yang seharusnya netral malah bisa memperburuk bias gender yang ada.

Melansir dari Forbes, penelitian menunjukkan bahwa 44% sistem AI menunjukkan output yang bias gender. AI ini seperti anak kecil yang belajar dari lingkungannya. Kalau lingkungan sosial kita penuh dengan stereotip, ya AI akan mempelajarinya juga. 

Jadi, alih-alih menjadi solusi, teknologi ini malah bisa jadi masalah baru. 

Contohnya, ada kasus di mana AI untuk rekrutmen kerja lebih sering memilih kandidat laki-laki dibandingkan perempuan, hanya karena data pelamar sebelumnya menunjukkan dominasi laki-laki.

Pengalaman Perempuan di Industri AI

Artikel dari VOA Indonesia, menggambarkan dua profil wanita yang bekerja di industri AI. Rizka Amalia dan Bernadetta Sri adalah cerminan nyata dari tantangan yang dihadapi perempuan di sektor ini. 

Mereka tidak hanya harus berjuang dengan kompleksitas teknologi, tapi juga harus menghadapi lingkungan kerja yang, kata mereka, sering kali "tidak ramah."

Rizka, misalnya, pernah bercerita tentang bagaimana sulitnya menyampaikan ide di tim yang mayoritas laki-laki. 

"Bukan karena mereka tidak mendengar," katanya, 

"tapi karena ada rasa bahwa saya harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan bahwa saya punya kapasitas yang sama." 

Ini bukan soal kemampuan, tapi soal lingkungan kerja yang belum benar-benar inklusif.

Bernadetta juga mengungkapkan bahwa dukungan dari tim sangat penting. 

"Komunikasi adalah kunci," katanya. 

"Tapi kalau tim sudah punya pola pikir patriarki, komunikasi itu seperti berbicara ke dinding." 

Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan budaya kerja yang mendukung, bukan hanya bagi perempuan, tapi bagi semua orang.

Mengapa Keterlibatan Perempuan Penting?

Di sinilah kita perlu berpikir lebih jauh. Kenapa sih keterlibatan perempuan di AI itu penting? Jawabannya sederhana: perspektif. 

Perempuan membawa sudut pandang yang berbeda, dan ini sangat diperlukan untuk menciptakan teknologi yang lebih inklusif.

Menurut WomenTech Network, meskipun jumlah perempuan yang mendapatkan gelar di bidang STEM meningkat, hanya 38% dari mereka yang bekerja di sektor tersebut. 

Forbes juga mencatat bahwa hanya 30% perempuan yang merasa percaya diri dengan pelatihan AI yang mereka terima, dibandingkan dengan 35% laki-laki. Perbedaan ini mungkin terlihat kecil, tapi dampaknya sangat besar dalam jangka panjang.

Jika perempuan lebih banyak terlibat, AI yang dihasilkan akan lebih mampu memahami kebutuhan semua orang, bukan hanya sebagian kelompok. 

Misalnya, dalam bidang kesehatan, AI yang dikembangkan oleh tim yang inklusif akan lebih sensitif terhadap kebutuhan perempuan. Ini bukan soal mengutamakan satu gender di atas yang lain, tapi soal menciptakan keseimbangan.

Tantangan Budaya dan Sosial

Di Indonesia, tantangan ini menjadi semakin kompleks karena budaya kita masih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki. 

Misalnya, perempuan sering kali dianggap lebih cocok bekerja di bidang "yang lebih feminin." 

Akibatnya, banyak perempuan yang ragu untuk masuk ke bidang teknologi. 

Bahkan jika mereka sudah berada di sana, tekanan sosial sering membuat mereka merasa tidak nyaman.

Ada juga tantangan dari sisi pendidikan. 

Meski akses ke pendidikan STEM semakin luas, masih banyak perempuan yang merasa bahwa bidang ini bukan untuk mereka. 

Ini bukan hanya soal pendidikan formal, tapi juga soal bagaimana masyarakat memandang peran perempuan. 

Kalau sejak kecil perempuan sudah diberi pesan bahwa mereka "tidak cukup baik" untuk teknologi, ya bagaimana mereka bisa percaya diri?

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menurut saya, langkah pertama adalah mengubah pola pikir. 

Kita perlu melihat perempuan sebagai aset, bukan beban. Inisiatif seperti yang dilakukan oleh Women for Ethical AI patut diapresiasi. Mereka tidak hanya memberikan pelatihan, tapi juga menciptakan ruang di mana perempuan bisa merasa didengar.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengambil peran aktif. 

Misalnya, dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang mendukung keterlibatan perempuan di bidang teknologi. 

Pendidikan juga harus lebih inklusif, mulai dari tingkat dasar. Anak-anak perempuan perlu diajarkan bahwa mereka punya tempat di dunia teknologi, sama seperti anak laki-laki.

Dan terakhir, kita sebagai masyarakat juga perlu mendukung. Kadang-kadang, hal kecil seperti memberikan dukungan moral bisa membuat perbedaan besar. 

Kesimpulan

Keterlibatan perempuan dalam AI bukan hanya soal kesetaraan, tapi juga soal menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua orang. 

Teknologi adalah cerminan dari siapa yang membuatnya. Kalau yang membuatnya hanya satu kelompok, maka hasilnya pun akan bias.

Jadi, mari kita dukung perempuan untuk masuk dan bertahan di sektor ini. 

Bukan karena mereka membutuhkan kita, tapi karena kita membutuhkan mereka. 

Dunia teknologi, dan dunia secara umum, akan jauh lebih baik jika semua orang diberi kesempatan yang sama untuk berkontribusi.

***

Referensi:

  • UN Women. (2024). Artificial intelligence and gender equality. Retrieved from https: //www.unwomen.org/en/news-stories/explainer/2024/05/artificial-intelligence-and-gender-equality
  • Constantino, T. (2024, November 12). Women make up 29% of the AI workforce—here's how to fix it. Forbes. Retrieved from https: //www.forbes.com/sites/torconstantino/2024/11/12/women-make-up-29-of-the-ai-workforce---heres-how-to-fix-it/
  • WomenTech Network. (n.d.). Women in tech stats. Retrieved from https: //www.womentech.net/en-us/women-in-tech-stats
  • VOA Indonesia. (2024). Studi tunjukkan perempuan masih tertinggal dalam sektor AI. Retrieved from https: //www.voaindonesia.com/a/studi-tunjukkan-perempuan-masih-tertinggal-dalam-sektor-ai/7911649.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun