Agung Sentausa, sebagai sutradara, menggambarkan dengan jelas dilema yang dihadapi banyak perempuan dalam kehidupan nyata.
Seringkali, kebebasan yang dicari dalam pernikahan tidak mengarah pada hubungan yang ideal, melainkan pada ketidakberdayaan yang lebih besar.
Seperti yang ditulis dalam artikel PopMama, film ini mengangkat tema cinta yang tertahan, hubungan yang penuh tekanan, dan pencarian kebebasan dalam kehidupan modern.
Ini adalah refleksi dari realitas yang sering dihadapi perempuan Indonesia yang terperangkap antara keinginan untuk bebas dan harapan untuk menemukan kebahagiaan dalam hubungan yang toksik.
Menghadapi Ketidakberdayaan dalam Hubungan yang Merugikan
Dalam banyak cerita, hubungan toksik sering kali disertai dengan kekerasan emosional dan verbal yang bisa menghancurkan mental seseorang.
Hanna, meskipun sudah memiliki anak dan merasa terperangkap, tetap berjuang untuk kebebasannya, meski itu berarti melawan kebiasaan lama yang sudah terlalu lama ia anggap sebagai “takdir”.
Seperti yang ditekankan dalam artikel Wikipedia, kisah Hanna mencerminkan ketidakberdayaan banyak perempuan yang merasa terjebak dalam hubungan yang penuh tekanan, namun sulit untuk keluar darinya karena ketakutan dan kurangnya dukungan.
Kisah ini bisa dibilang sangat relevan dengan banyak isu sosial yang ada di Indonesia, seperti pernikahan dini dan tekanan sosial terhadap perempuan untuk menikah.
Banyak perempuan yang merasa tidak bisa mengungkapkan kekesalan atau ketidakbahagiaan dalam pernikahan karena faktor budaya dan lingkungan yang tidak mendukung.
Film ini mengajak penonton untuk lebih memahami betapa rumitnya perjalanan hidup seorang perempuan yang merasa tak punya pilihan selain bertahan dalam hubungan yang merugikan.
Ini bukan hanya soal mencintai atau dicintai, tetapi tentang kekuatan untuk memutuskan apa yang terbaik untuk diri sendiri, meskipun harus menghadapi penolakan dan stigma sosial.