Bayangkan Anda melangkah masuk ke sebuah kafe, berharap menemukan sudut nyaman untuk menikmati secangkir kopi hangat sambil melepas penat.Â
Namun, begitu masuk, Anda melihat meja besar dengan enam kursi hanya diduduki satu orang, barang-barangnya tersebar memenuhi kursi kosong.Â
Di sudut lain, suara obrolan keras dari sekelompok orang atau bahkan barista terdengar mengalahkan musik latar yang seharusnya menenangkan.Â
Rasanya, suasana santai yang diharapkan langsung sirna.
Fenomena seperti ini mungkin sudah sering kita temui.Â
Kafe yang awalnya hanya tempat menikmati kopi, kini telah berubah menjadi ruang multifungsi, tempat bekerja, belajar, hingga bersosialisasi.Â
Budaya nongkrong di kafe semakin populer, terutama di kalangan anak muda.Â
Namun di balik tren ini, saya punya sebuah pertanyaan yang mengganjal, bagaimana menjaga kenyamanan bersama di ruang publik?Â
Tanpa kesadaran akan aturan tidak tertulis seperti berbagi meja atau menjaga ketenangan, harmoni yang seharusnya tercipta justru terganggu.
Budaya Nongkrong dan Etika Sosial
Menurut Goodstats.id (2024), sekitar 91% pengunjung kafe adalah mahasiswa dan pekerja muda.Â
Mereka datang untuk berbagai alasan: mencari suasana nyaman (84%), memanfaatkan fasilitas seperti WiFi (45%), atau sekadar melepas penat. Namun, di balik angka ini, ada etika sosial yang kadang terabaikan.
Salah satu hal yang paling mengganggu saat nongkrong di kafe adalah dominasi meja besar oleh satu orang.Â
Saya pernah melihat seseorang duduk sendirian di meja untuk enam orang, barang-barangnya berserakan di kursi-kursi kosong seolah-olah sedang menguasai tempat.Â
Ketika ada pengunjung lain yang jelas-jelas butuh tempat duduk, dia hanya diam tanpa sedikit pun inisiatif untuk berbagi meja.Â
Situasi seperti ini tidak hanya membuat frustrasi, tetapi juga menciptakan suasana canggung yang sebenarnya mudah dihindari jika ada kesadaran untuk berbagi ruang.
Masalah lain yang sering muncul adalah kebisingan.Â
Anehnya, bukan hanya pengunjung yang kadang lupa menjaga ketenangan.Â
Di beberapa kafe, barista atau kasir justru lebih berisik daripada pelanggan. Obrolan mereka yang keras sering kali memecah suasana yang seharusnya mendukung produktivitas atau rileks.Â
Bayangkan, Anda datang ke kafe untuk bekerja atau sekadar menikmati waktu tenang, tetapi malah terganggu oleh suara-suara yang tidak perlu.
Dampak Ketidakpatuhan terhadap Etika
Ketika etika sosial di kafe diabaikan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pengunjung lain tetapi juga oleh pemilik bisnis.Â
Melansir dari GoodStats.id, perilaku seperti tidak memesan menu atau hanya membeli satu item untuk nongkrong berjam-jam bisa menyebabkan kerugian finansial bagi pemilik kafe.Â
Bahkan, ada istilah khusus yang digunakan untuk kelompok ini, "Rojali," singkatan dari Rombongan Jarang Beli.
Masalah ini bukan sekadar gangguan kecil. Dalam jangka panjang, pelanggaran etika semacam ini dapat merusak daya saing kafe, terutama di pasar yang semakin kompetitif.Â
Di Jogja saja, jumlah kafe telah mencapai 3.000 pada akhir 2022, menciptakan persaingan yang sangat ketat.Â
Ketika pelanggan merasa tidak nyaman karena suasana yang kacau atau layanan terganggu akibat perilaku pengunjung lain, mereka cenderung mencari tempat lain yang lebih kondusif.
Edukasi dan Kebijakan Proaktif
Bagaimana cara mengatasi masalah etika sosial di kafe?Â
Kuncinya ada pada edukasi dan kebijakan proaktif dari pemilik kafe.Â
Langkah sederhana seperti memasang plakat kecil dengan pesan ramah bisa menjadi solusi efektif.Â
Contohnya, tulisan seperti "Mari berbagi meja demi kenyamanan bersama" atau "Suasana tenang mendukung produktivitas Anda" dapat mengingatkan pengunjung tanpa terkesan memaksa atau menggurui.
Selain itu, kebijakan pembelian minimal juga bisa diterapkan dengan bijak.Â
Misalnya, pengunjung yang menggunakan WiFi dalam waktu lama dapat diminta untuk melakukan pembelian tambahan setelah durasi tertentu.Â
Beberapa kafe besar sudah menerapkan aturan ini, dan hasilnya cukup efektif dalam menjaga keseimbangan antara kenyamanan pelanggan dan keberlanjutan operasional bisnis.
Hal lain yang tak kalah penting adalah promosi berbasis perilaku positif.Â
Pemilik kafe dapat memberikan insentif kecil, seperti diskon bagi pelanggan yang memesan lebih dari satu menu saat nongkrong lama.Â
Pendekatan ini tidak hanya mendorong perilaku bertanggung jawab tetapi juga membangun hubungan emosional yang positif antara pelanggan dan bisnis.
Mengembalikan Esensi Nongkrong
Di balik budaya nongkrong di kafe, ada pelajaran penting tentang bagaimana kita menjaga harmoni di ruang publik.Â
Fenomena ini bukan sekadar soal menikmati kopi atau mencari tempat nyaman untuk bekerja, tetapi mencerminkan tantangan hidup bermasyarakat di tengah urbanisasi yang kian pesat.Â
Ruang bersama semakin terbatas, dan tata krama seperti berbagi meja atau menjaga ketenangan menjadi lebih dari sekadar aturan tidak tertulis.Â
Tata krama adalah wujud penghormatan terhadap hak orang lain.
Sudah seharusnya kita membawa semangat itu ke ruang publik modern seperti kafe.Â
Dengan mematuhi etika sosial sederhana, kita tidak hanya menciptakan kenyamanan bersama tetapi juga memperkuat identitas kita sebagai masyarakat yang saling menghargai.
Pada akhirnya, nongkrong seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi semua pihak, pengunjung, pekerja, maupun pemilik bisnis.Â
Sebuah cangkir kopi akan terasa lebih nikmat jika dinikmati dengan kesadaran akan pentingnya harmoni sosial.Â
Jadi nanti, ketika Anda duduk di kafe, tanyakan pada diri sendiri: apakah kelakuan saya di sini tidak mengganggu kenyamanan orang lain?
***
Referensi:
- GoodStats.id. (2024). Daya tarik kedai kopi di mata anak muda 2024: Kebiasaan pengeluaran dan alasan mereka.
- Era.id. (2024). Etika work from cafe: Produktivitas dan kesopanan dalam bekerja di tempat umum.
- Journal.um-surabaya.ac.id. (n.d.). Prinsip etika bisnis dalam meningkatkan loyalitas konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H