Ketika membahas Pilgub Jawa Tengah 2024, muncul pertanyaan menarik tentang kekuatan dukungan dalam memenangkan kontestasi. Dukungan dari elite politik sering dianggap sebagai faktor utama.
“Kalau sudah didukung Presiden, pasti menang,” begitu pandangan umum yang sering terdengar.
Namun, apakah benar dukungan elite selalu menjadi penentu? Ataukah ada kekuatan lain, seperti dukungan langsung dari rakyat, yang justru lebih berpengaruh?
Dalam Pilgub Jawa Tengah tahun ini, perdebatan antara endorse presiden dan endorse rakyat menjadi sorotan utama.
Kontestasi ini tidak hanya tentang siapa yang akan memimpin Jawa Tengah, tetapi juga menyentuh isu legitimasi politik.
Siapa yang memiliki kekuatan dukungan lebih signifikan: elite atau rakyat?
Persaingan antara pasangan Ahmad Lutfi-Gus Yassin dan Andika-Hendi mencerminkan pertarungan dua narasi besar ini, dengan masing-masing kubu mengusung pendekatan yang berbeda dalam membangun dukungan mereka.
Peran Elite dalam Politik: Efektifkah?
Berdasarkan survei dari Kompas, Ahmad Lutfi mendapat dukungan kuat dari Presiden Jokowi. Di sisi lain, mantan Presiden Megawati juga dilaporkan memberikan dukungannya kepada pasangan Andika-Hendi.
Dalam konteks politik Jawa Tengah, yang dikenal sebagai kandang banteng, dukungan dari tokoh besar semacam ini sering dianggap sebagai senjata pamungkas untuk mengamankan kemenangan.
Namun, data survei menunjukkan hasil yang tidak terduga. Tingkat elektabilitas Ahmad Lutfi dan Andika-Hendi bersaing ketat, meskipun Lutfi memulai kampanye lebih awal.
Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa dukungan dari elite politik tidak secara otomatis menjamin kemenangan?
Salah satu alasannya mungkin terletak pada perubahan pola pikir pemilih.
Khususnya di kalangan generasi muda dan pemilih pemula, antusiasme terhadap dukungan tokoh besar tampak menurun.
Diskusi politik di media sosial menunjukkan bahwa mereka cenderung kritis, lebih fokus pada program kerja dan visi kandidat.
Pemilih sekarang bertanya, "Apa yang bisa Anda lakukan untuk masa depan kami?" Daripada sekadar terpengaruh oleh nama besar di belakang kandidat.
Endorse Rakyat: Antara Narasi dan Kenyataan
Di sisi lain, pasangan Andika-Hendi mencoba mengusung narasi yang berbeda: "Kami diendorse rakyat."
Narasi ini terdengar idealis, namun bukan berarti tanpa tantangan.
Dalam beberapa kasus, "endorse rakyat" seringkali hanyalah klaim tanpa bukti nyata.
Namun, Andika-Hendi tampaknya benar-benar berupaya membuktikan klaim ini. Mereka lebih sering turun langsung ke masyarakat, termasuk ke daerah-daerah yang bukan basis pendukung mereka. Strategi ini menarik, karena menunjukkan keberanian untuk mendekati pemilih yang "belum kenal" atau bahkan skeptis terhadap mereka.
Menurut saya, ini adalah pendekatan yang berisiko tapi sekaligus memiliki potensi besar. Pemilih yang merasa "disentuh langsung" oleh kandidat cenderung memberikan dukungan yang lebih tulus.
Inilah yang membuat narasi "endorse rakyat" punya daya tarik, terutama di kalangan masyarakat yang sudah lelah dengan gaya kampanye tradisional.
Pengaruh Populisme dan Pemilih Muda
Fenomena ini juga tidak lepas dari tren global.
Dalam konteks politik dunia, populisme telah menjadi senjata ampuh bagi banyak politisi. Populisme memanfaatkan emosi rakyat, terutama rasa ketidakpuasan terhadap elite. Hal ini tampaknya juga terjadi di Pilgub Jateng.
Pendapat dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa pemilih muda di Indonesia cenderung kritis terhadap endorse elite. Mereka lebih peduli pada isu substantif, seperti kebijakan pendidikan, lapangan kerja, dan lingkungan.
Narasi populis yang mengangkat suara rakyat bisa jadi adalah cara efektif untuk menarik hati pemilih muda ini.
Namun, populisme juga memiliki sisi gelap. Jika tidak dikelola dengan baik, narasi "endorse rakyat" dapat memicu polarisasi.
Alih-alih menyatukan, narasi ini justru bisa memperlebar jurang antara rakyat dan elite, menciptakan konflik sosial yang lebih dalam.
Kesimpulan
Pertarungan narasi antara endorse presiden dan endorse rakyat dalam Pilgub Jateng mencerminkan dinamika demokrasi kita.
Di satu sisi, elite politik berperan sebagai penggerak yang membangun arah dan legitimasi.
Di sisi lain, rakyat semakin menunjukkan kekuatan mereka sebagai pemilih yang cerdas, mempertanyakan program, dan menilai visi kandidat secara kritis.
Dua kekuatan ini, meski tampak berlawanan, sebenarnya saling melengkapi dalam demokrasi yang sehat.
Namun, keseimbangan antara keduanya tidak selalu mudah dicapai. Ketika elite terlalu mendominasi, rakyat merasa diabaikan.
Sebaliknya, jika narasi rakyat terlalu menonjol tanpa arah yang jelas, demokrasi bisa kehilangan pijakan strategisnya.
Pilgub Jateng 2024 menjadi lebih dari sekadar kontestasi politik.
Ia adalah pelajaran bagi kita semua: bagaimana menghargai suara rakyat tanpa mengabaikan peran bijak dari elite.
Tapi, apakah demokrasi kita siap menyeimbangkan dua kekuatan ini?
Atau, kita justru akan terus terjebak dalam narasi yang memecah, bukan menyatukan?
***
Referensi:
- Kompas. (2024). Survei Pilgub Jawa Tengah: Dinamika Dukungan Politik dan Preferensi Masyarakat.
- Wikipedia. (2024). 2024 Indonesian Presidential Election.
- Center for Strategic and International Studies (CSIS). (2024). Rilis Survei Pemilih Muda dan Pemilu 2024: Dinamika dan Preferensi Sosial Politik Pascapandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H