Fenomena ini juga tidak lepas dari tren global.Â
Dalam konteks politik dunia, populisme telah menjadi senjata ampuh bagi banyak politisi. Populisme memanfaatkan emosi rakyat, terutama rasa ketidakpuasan terhadap elite. Hal ini tampaknya juga terjadi di Pilgub Jateng.
Pendapat dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa pemilih muda di Indonesia cenderung kritis terhadap endorse elite. Mereka lebih peduli pada isu substantif, seperti kebijakan pendidikan, lapangan kerja, dan lingkungan.
Narasi populis yang mengangkat suara rakyat bisa jadi adalah cara efektif untuk menarik hati pemilih muda ini.
Namun, populisme juga memiliki sisi gelap. Jika tidak dikelola dengan baik, narasi "endorse rakyat" dapat memicu polarisasi.Â
Alih-alih menyatukan, narasi ini justru bisa memperlebar jurang antara rakyat dan elite, menciptakan konflik sosial yang lebih dalam.
Kesimpulan
Pertarungan narasi antara endorse presiden dan endorse rakyat dalam Pilgub Jateng mencerminkan dinamika demokrasi kita.Â
Di satu sisi, elite politik berperan sebagai penggerak yang membangun arah dan legitimasi.Â
Di sisi lain, rakyat semakin menunjukkan kekuatan mereka sebagai pemilih yang cerdas, mempertanyakan program, dan menilai visi kandidat secara kritis.Â
Dua kekuatan ini, meski tampak berlawanan, sebenarnya saling melengkapi dalam demokrasi yang sehat.
Namun, keseimbangan antara keduanya tidak selalu mudah dicapai. Ketika elite terlalu mendominasi, rakyat merasa diabaikan.Â