reformasi pilkada yang komprehensif, yang seharusnya dipimpin oleh para pihak yang independen, bukan oleh politisi atau hakim yang memiliki kepentingan pribadi.
Pilkada di Indonesia, yang dimulai sejak 2004, telah menjadi ajang penting dalam menentukan arah kepemimpinan daerah. Namun seiring berjalannya waktu, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai masalah yang muncul. Korupsi dan praktik jual-beli suara telah mencoreng wajah demokrasi kita. Adalah penting untuk menyoroti perlunyaKeberhasilan dan Tantangan Pilkada
Sejak diperkenalkan, pilkada langsung telah berhasil melahirkan banyak pemimpin baru berbakat. Namun, keberhasilan ini tidak bisa menghapus fakta bahwa praktik korupsi dan jual-beli suara semakin merajalela.Â
Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga tahun 2022, sebanyak 148 bupati/wali kota dan 22 gubernur telah ditangkap karena terlibat dalam praktik korupsi terkait pilkada.Â
Ini adalah angka yang mencengangkan dan menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem yang ada.
Pilkada seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan positif.Â
Namun, kenyataannya, banyak kandidat merasa terpaksa terlibat dalam praktik-praktik tidak etis untuk memenangkan pemilihan.Â
Hal ini menciptakan siklus di mana korupsi menjadi norma, bukan pengecualian.Â
Dengan kata lain, kita sedang menghadapi masalah sistemik yang memerlukan perhatian serius.
Perlunya Reformasi Komprehensif
Reformasi pilkada harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematis. Menurut Ward Berenschot, peneliti senior di KITLV Leiden, reformasi ini perlu dipimpin oleh para ahli independen yang memahami seluk-beluk pemilu dan bukan oleh politisi atau hakim.Â
Politisi sering kali memiliki agenda pribadi yang dapat mempengaruhi keputusan mereka dalam merancang peraturan pemilu.Â
Sementara itu, hakim memiliki tugas untuk menilai konstitusionalitas undang-undang, bukan untuk merumuskannya.
Salah satu isu utama yang perlu diperhatikan adalah tingginya biaya kampanye. Banyak kandidat merasa terpaksa membayar mahar politik kepada partai untuk mendapatkan dukungan.Â
Praktik ini tidak hanya menguras kantong mereka tetapi juga mengubah cara politik kita berjalan.Â
Seharusnya, dukungan partai diberikan berdasarkan prestasi dan popularitas kandidat, bukan berdasarkan siapa yang mampu membayar lebih.
Korupsi sebagai Konsekuensi Biaya Kampanye Tinggi
Tingginya biaya kampanye juga berkontribusi pada tingginya angka korupsi di kalangan pejabat terpilih.Â
Setelah terpilih, banyak politisi merasa perlu mengembalikan biaya kampanye mereka dengan cara-cara yang merugikan kualitas pemerintahan.Â
Mereka mungkin menjual jabatan birokrasi atau meminta suap untuk proyek-proyek pemerintah. Ini adalah siklus yang sangat berbahaya dan harus dihentikan.
Berdasarkan penelitian dari Berenschot dan Edward Aspinall dalam buku Democracy for Sale, jelas bahwa reformasi regulasi pemilu sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.Â
Kita perlu memikirkan cara-cara untuk mengurangi biaya kampanye secara efektif dan memperbaiki peraturan dana kampanye agar lebih transparan.
Mengambil Langkah Menuju Perubahan
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mendukung upaya reformasi yang melibatkan para ilmuwan politik dan ahli hukum.Â
Universitas-universitas di Indonesia telah menghasilkan banyak penelitian berkualitas tinggi mengenai hakikat pemilu dan bagaimana memperbaiki sistem pemilu kita.Â
Pengetahuan ini harus dimanfaatkan untuk merumuskan undang-undang pilkada yang baru.
Kita tidak bisa terus-menerus melakukan penyesuaian kecil tanpa melihat gambaran besar.Â
Reformasi harus fokus pada pengurangan biaya kampanye dan peningkatan akuntabilitas di semua tingkat pemerintahan.Â
Dengan demikian, kita dapat menciptakan sistem pemilu yang lebih transparan dan akuntabel.
Kesimpulan
Reformasi pilkada adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.Â
Kita harus berani mengambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan praktik korupsi dan jual-beli suara yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.Â
Mari kita dukung upaya reformasi ini dengan harapan bahwa suatu hari nanti, pilkada akan kembali menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan integritas dan visi mereka, bukan sekadar daya beli.
Dengan demikian, saatnya bagi kita semua untuk merenungkan peran kita dalam mendukung perubahan ini.Â
Apakah kita akan terus membiarkan praktik-praktik buruk ini berlangsung? Atau akankah kita bersatu untuk mendorong reformasi demi masa depan bangsa?
***
Referensi:
- Berenschot, W. (2024). Pilkada harus direformasi. Kompas.
- Aspinall, E., & Berenschot, W. (2024). Evaluating electoral reforms and its consequences in Indonesia: An overview. Universitas Airlangga.
- Reilly, B. (2024). Asia Pacific model: Electoral reform in the region. Crawford School of Public Policy, Australian National University.
- Pew Research Center. (2024). Electoral reform and direct democracy: Global perspectives.
- Oxford University Press. (2024). Democracy for sale: Understanding electoral corruption in Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H