Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Asa Demokrasi Paripurna Lewat Reformasi Pilkada

19 November 2024   18:09 Diperbarui: 19 November 2024   18:09 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TPS. (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP) 

Pilkada di Indonesia, yang dimulai sejak 2004, telah menjadi ajang penting dalam menentukan arah kepemimpinan daerah. Namun seiring berjalannya waktu, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai masalah yang muncul. Korupsi dan praktik jual-beli suara telah mencoreng wajah demokrasi kita. Adalah penting untuk menyoroti perlunya reformasi pilkada yang komprehensif, yang seharusnya dipimpin oleh para pihak yang independen, bukan oleh politisi atau hakim yang memiliki kepentingan pribadi.

Keberhasilan dan Tantangan Pilkada

Sejak diperkenalkan, pilkada langsung telah berhasil melahirkan banyak pemimpin baru berbakat. Namun, keberhasilan ini tidak bisa menghapus fakta bahwa praktik korupsi dan jual-beli suara semakin merajalela. 

Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga tahun 2022, sebanyak 148 bupati/wali kota dan 22 gubernur telah ditangkap karena terlibat dalam praktik korupsi terkait pilkada. 

Ini adalah angka yang mencengangkan dan menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem yang ada.

Pilkada seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan positif. 

Namun, kenyataannya, banyak kandidat merasa terpaksa terlibat dalam praktik-praktik tidak etis untuk memenangkan pemilihan. 

Hal ini menciptakan siklus di mana korupsi menjadi norma, bukan pengecualian. 

Dengan kata lain, kita sedang menghadapi masalah sistemik yang memerlukan perhatian serius.

Perlunya Reformasi Komprehensif

Reformasi pilkada harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematis. Menurut Ward Berenschot, peneliti senior di KITLV Leiden, reformasi ini perlu dipimpin oleh para ahli independen yang memahami seluk-beluk pemilu dan bukan oleh politisi atau hakim. 

Politisi sering kali memiliki agenda pribadi yang dapat mempengaruhi keputusan mereka dalam merancang peraturan pemilu. 

Sementara itu, hakim memiliki tugas untuk menilai konstitusionalitas undang-undang, bukan untuk merumuskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun