Turunnya angka pernikahan di Indonesia melukis kisah baru, menggugah banyak hati untuk merenung.Â
Bagi sebagian orang, ini adalah refleksi perubahan pandangan hidup generasi muda.Â
Menikah tak lagi mutlak, tapi pilihan.Â
Yang lain melihatnya sebagai beban ekonomi yang tak ringan.Â
Namun, ada sisi lain yang lebih gelap: trust issue yang semakin mengakar, jadi bayang kelam bagi tingginya angka perceraian.Â
Melalui tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk memahami apa yang membentuk dinding penghalang ini, serta mengungkap mengapa kepercayaan pada pernikahan perlahan meredup.
Dampak Perceraian Terhadap Trust Issue
Menurut Hello Sehat, perceraian di lingkungan keluarga atau sosial seseorang dapat berdampak besar pada kepercayaan mereka terhadap hubungan jangka panjang.Â
Konflik orang tua, seperti perselingkuhan, sering kali menciptakan trauma yang terbawa hingga dewasa, membuat mereka enggan menjalin komitmen.Â
Bayangkan, bagi seorang anak yang tumbuh di tengah perselisihan atau perpisahan orang tua, pernikahan tidak lagi terlihat sebagai perwujudan kebahagiaan.Â
Sebaliknya, mereka mungkin memandang pernikahan sebagai ladang konflik yang sarat masalah.
Trust issue ini menanamkan skeptisisme mendalam terhadap pernikahan.Â
Bagi banyak anak muda, pernikahan tak lagi tampak sebagai tujuan utama, tetapi sekadar opsi yang bisa ditunda atau dilewatkan sama sekali.Â
Kenapa ambil risiko terjebak dalam ikatan yang mungkin berakhir pahit?Â
Bagi mereka, lebih aman untuk menghindar daripada bertaruh dengan kebahagiaan yang tak terjamin.
Menunda Pernikahan: Keputusan Rasional atau Ketakutan Tersembunyi?
Keputusan untuk menunda pernikahan tampaknya bukan sekadar hasil perhitungan logis, tetapi juga didorong oleh rasa takut akan kegagalan.Â
Menurut Katadata, semakin banyak anak muda Indonesia yang memilih untuk tidak terburu-buru menikah.Â
Mereka lebih fokus pada stabilitas finansial dan kemandirian pribadi sebelum berpikir untuk berkomitmen.Â
Tentu, hal ini bisa dipahami.Â
Biaya hidup yang terus meningkat, persaingan kerja yang ketat, dan tuntutan pendidikan yang tinggi, semuanya turut mendorong anak muda untuk lebih hati-hati dalam mengambil keputusan besar seperti pernikahan.
Namun, di balik alasan-alasan rasional ini, terselip ketidakpercayaan yang jauh lebih dalam.Â
Trust issue yang tumbuh dari pengalaman pahit orang-orang sekitar membuat anak muda terus mempertimbangkan ulang.Â
Untuk apa menghabiskan waktu dan energi demi membangun hubungan, jika ujungnya hanya berujung pada kekecewaan?Â
Bagi mereka, rasa ragu ini lebih dari sekadar ketakutan, ia adalah pelajaran dari luka-luka masa lalu yang tak ingin mereka ulang.
Faktor-Faktor yang Memperparah Trust Issue
Republika mencatat beberapa faktor yang semakin memperparah trust issue di kalangan anak muda Indonesia.Â
Selain perceraian, kasus perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menjadi momok yang membuat mereka skeptis terhadap pernikahan.Â
Banyak anak muda yang tumbuh di era informasi ini terpapar berita-berita seputar perselingkuhan dan KDRT yang melibatkan pasangan-pasangan muda.Â
Mereka melihat ini bukan sebagai kisah perorangan, tetapi sebagai risiko besar yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah.
Selain itu, perubahan nilai dan prioritas hidup turut memengaruhi pandangan anak muda terhadap pernikahan.Â
Banyak dari mereka yang memilih untuk fokus pada pendidikan, karier, atau tujuan pribadi lainnya, sehingga pernikahan tidak lagi menjadi prioritas utama.Â
Dengan mindset seperti ini, trust issue semakin menjadi alasan kuat untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan.
Membangun Kepercayaan: Pendekatan Baru dalam Komitmen
Lalu, bagaimana caranya untuk membangun kembali kepercayaan yang hilang ini?Â
Menurut Hello Sehat, membangun kepercayaan dalam hubungan membutuhkan komunikasi yang jujur dan konsisten.Â
Namun, tidak hanya itu, lingkungan keluarga dan sosial juga berperan besar dalam membentuk pola pikir anak muda mengenai pernikahan.Â
Apabila mereka tumbuh di lingkungan yang mendukung hubungan yang sehat dan saling percaya, trust issue bisa diminimalisir.
Membangun komitmen tak cukup dengan komunikasi semata, butuh pola pikir yang terbuka dan siap menata hubungan jangka panjang.Â
Di sini, peran generasi sebelumnya, terutama orang tua—begitu penting.Â
Mereka harus menjadi teladan, menunjukkan bahwa pernikahan bukan sekadar arena konflik, melainkan ruang bagi dua jiwa untuk saling memahami dan bekerja sama.Â
Dengan contoh nyata ini, anak muda bisa melihat bahwa pernikahan adalah harmoni yang tumbuh dari komitmen dan pemahaman yang tulus.
Membawa Harapan di Tengah Krisis Kepercayaan
Fenomena penurunan angka pernikahan di Indonesia terjalin dari banyak benang rumit: tantangan ekonomi, trust issue, dan perubahan nilai hidup.Â
Di satu sisi, pilihan pribadi tetap jadi hak masing-masing.Â
Namun, akankah keluarga, masyarakat, dan media dapat membantu membangun kembali kepercayaan mereka?Â
Mampukah generasi muda menemukan kembali makna komitmen dalam dunia yang terus berubah?
***
Referensi:
- Katadata. (2024). Anak Muda Indonesia Tak Ingin Cepat Menikah.
- Republika. (2024). Angka Pernikahan di Indonesia Turun, Apa Penyebabnya? Ini Kata Psikolog.
- Jurnal Registrasi. (2024). Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia.
- Hello Sehat. (2024). 5 Penyebab Trust Issue dalam Hubungan dan Cara Mengatasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H