Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Efektifkah Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia Atasi Gizi Buruk?

6 November 2024   06:00 Diperbarui: 6 November 2024   06:21 2744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barisan peserta Pendidikan Dasar dan Latihan Militer Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) (Foto: UNHAN RI) 

Di antara program unggulan Presiden Prabowo Subianto, satu inisiatif mengundang perhatian: makan bergizi gratis bagi jutaan anak dan balita Indonesia. 

Melalui Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI), 1.063 sarjana kini ditempa di Pusat Pendidikan Infanteri, Cipatat, Bandung. 

Diperkuat dengan pelatihan militer, mereka bersiap memastikan distribusi makanan bergizi berjalan tepat sasaran.

Namun, pendekatan ini menyisakan tanda tanya: apakah pelatihan militer relevan dalam program gizi? 

Dan dengan anggaran Rp71 triliun, bagaimana memastikan program ini benar-benar menjawab kebutuhan? 

Tulisan ini menggali lebih dalam, menimbang logika dan tantangan di balik program ambisius ini.

Mengapa Pelatihan Militer?

Menurut data dari Abadikini, pelatihan militer yang diberikan kepada para sarjana bertujuan untuk membentuk karakter disiplin, kepemimpinan, dan ketahanan fisik. 

Ini adalah keterampilan yang esensial, khususnya untuk tugas yang membutuhkan koordinasi dan pengawasan ketat seperti distribusi makanan bergizi yang melibatkan banyak lapisan masyarakat dan tantangan logistik. 

Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa pelatihan militer mungkin bermanfaat dalam membentuk mentalitas "siap tempur" bagi para sarjana dalam menghadapi tugas besar di lapangan.

Tetapi, benarkah pelatihan militer adalah satu-satunya jalan untuk mengasah keterampilan ini? 

Pertanyaan ini mengusik. 

Di dalam program yang semestinya berfokus pada kesehatan dan distribusi gizi, bukankah pengetahuan nutrisi dan manajemen kesehatan jauh lebih krusial dibanding ketahanan fisik? 

Di negara lain, program serupa justru mengedepankan pelatihan teknis tentang gizi dan logistik. 

Nilai disiplin militer memang tidak dapat dipungkiri, namun apakah ini akan meningkatkan efektivitas distribusi makanan? 

Atau malah menambah beban biaya tanpa memberikan dampak langsung?

Alokasi Anggaran dan Efektivitasnya

Anggaran besar yang disiapkan, yaitu Rp71 triliun, memiliki tujuan ambisius: menurunkan prevalensi stunting hingga ke angka 14% pada 2024. 

Sebuah target yang tentu saja layak diperjuangkan mengingat masalah gizi buruk dan stunting adalah momok besar bagi generasi muda Indonesia. 

Namun, berdasarkan artikel dari JPNN, efektivitas penggunaan anggaran sebesar ini sangat tergantung pada pelaksanaan yang rapi, distribusi yang merata, serta pengawasan yang ketat.

Seringkali, anggaran besar yang dialokasikan untuk program ambisius justru menghadirkan tantangan tersendiri. 

Tanpa pengawasan ketat, dana yang ditujukan bagi anak-anak dan kelompok rentan bisa saja terbuang sia-sia, bahkan mungkin tersesat di tangan yang tak seharusnya. 

Program seperti ini memerlukan evaluasi yang konsisten dan, yang lebih penting, transparansi. 

Tanpa itu, tujuan mulia untuk menurunkan angka stunting akan berakhir sebagai sekadar slogan kosong, tak lebih dari janji tanpa wujud nyata.

Tantangan Logistik dan Koordinasi

Satu hal lagi yang perlu disoroti adalah tantangan utama dalam penerapan program makan bergizi gratis yang melibatkan pelatihan militer. 

Berdasarkan data dari Detik Health, para sarjana yang dilatih militer harus mampu beradaptasi tidak hanya dengan pelatihan fisik, tetapi juga dengan peran baru mereka di lapangan. 

Ini bukan tugas yang mudah, mengingat mereka harus menggabungkan keterampilan manajemen, gizi, dan kesehatan dengan disiplin militer yang telah mereka pelajari.

Sebaliknya, kolaborasi antara sarjana berlatih militer dan instansi sipil mungkin menjadi tantangan tersendiri. 

Bayangkan seorang sarjana yang terbentuk dalam disiplin militer, namun kini berhadapan dengan suasana sekolah atau puskesmas yang bernuansa pelayanan publik. 

Apakah pendekatan militer cocok diterapkan di tempat-tempat ini? 

Atau mungkin ada cara lain, pendekatan yang lebih lembut dan selaras dengan kebutuhan pelayanan masyarakat, yang lebih tepat untuk tujuan program ini?

Dampak Jangka Panjang dan Keberlanjutan Program

Pelatihan militer bagi sarjana dalam program ini diharapkan memberikan dampak jangka panjang. 

Menurut Abadikini, pelatihan ini diharapkan mampu membentuk karakter para sarjana untuk tetap disiplin dan konsisten dalam menjalankan tugas. 

Namun, pertanyaan muncul, apakah dampak ini benar-benar bisa bertahan lama atau hanya sementara? 

Program makan bergizi gratis ini akan dimulai pada Januari 2025, dan diharapkan bisa memberikan makanan kepada hampir 19,5 juta orang.

Agar program ini berkelanjutan, pemantauan rutin menjadi kunci, seperti ditegaskan dalam berbagai penelitian. 

Melibatkan para sarjana adalah langkah awal yang menjanjikan, namun lebih dari itu, kita memerlukan rencana jangka panjang, terutama dalam evaluasi dan pemantauan yang berkesinambungan. 

Dengan pengawasan yang konsisten, kita bisa memastikan bahwa makanan bergizi ini benar-benar menjangkau anak-anak, ibu hamil, dan balita di daerah terpencil—mereka yang seharusnya menjadi tujuan utama dari program ini.

Program yang Mulia, Tantangan yang Besar

Program makan bergizi gratis ini adalah upaya mulia dengan potensi besar, dan keterlibatan sarjana menunjukkan strategi yang berani. 

Namun, apakah pelatihan militer benar-benar langkah yang tepat dalam program kesehatan masyarakat? 

Dengan anggaran Rp71 triliun, efektivitasnya bergantung pada pengawasan, transparansi, dan evaluasi berkelanjutan. 

Akankah inisiatif ini benar-benar membawa perubahan nyata, atau justru hanya menjadi harapan yang tak terwujud?

***

Referensi:

  • Abadikini. (2024, Oktober 19). Unhan RI Serahkan 936 Lulusan SPPI Batch 1 kepada Kepala Badan Gizi Nasional.
  • JPNN. (2024). Tantangan dan Harapan Program Makan Gratis Bergizi.
  • Health Detik. (2024). Catatan Pakar Soal Program Makan Gratis Prabowo-Gibran, Sentil Soal Ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun