Ketika pendapatan stagnan dan kebutuhan meningkat, pinjaman daring tampak seperti jalan keluar.Â
Namun, dampaknya terhadap stabilitas ekonomi kelas bawah sangat merugikan.Â
Pengamat ekonomi Nailul Huda mencatat bahwa ketika daya beli masyarakat menurun, kemampuan mengembalikan utang juga ikut menurun, mengakibatkan kredit macet dan memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Ketergantungan ini mengingatkan pada budaya "kasbon" di warung.Â
Bedanya, jika kasbon hanya melibatkan pemilik warung dan pelanggan, pinjaman daring melibatkan platform teknologi yang lebih kompleks dan tidak selalu memberikan pemahaman jelas tentang risiko.Â
Berdasarkan data OJK pada 2024, lebih dari 60% peminjam daring mengalami kesulitan mengelola utang karena kurangnya pemahaman tentang bunga tinggi dan denda keterlambatan.Â
Ini adalah salah satu dampak negatif dari digitalisasi yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah.
Pentingnya Kebijakan Ekonomi Inklusif
Solusi atas masalah ini bukan sekadar melarang akses pinjaman daring.Â
Menurut Kementerian Keuangan, kebijakan ekonomi inklusif menjadi kunci mencegah ketergantungan pada utang konsumtif.Â
Kebijakan ekonomi inklusif adalah pendekatan yang memastikan semua lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, memiliki akses ke layanan keuangan dan peluang ekonomi yang setara.Â
Program inklusi keuangan diharap akan meningkatkan akses masyarakat terhadap produk tabungan dan layanan keuangan formal, membantu mereka mengelola keuangan lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada utang konsumtif.Â