Namun, bagaimana jika jendela itu tertutup rapat bagi banyak anak Indonesia? Berdasarkan penelitian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud), literasi adalah kunci untuk membuka potensi anak-anak.Â
Literasi bukan hanya tentang bisa membaca, tetapi juga tentang bagaimana anak-anak dapat memahami dan mengapresiasi informasi secara kritis.Â
Sayangnya, di Indonesia, literasi sering kali dipahami secara sempit, hanya sekadar membaca buku selama beberapa menit sebelum memulai pelajaran. Akibatnya, siswa kita sering kali hanya belajar untuk membaca (learning to read), bukan membaca untuk belajar (reading to learn).
Lebih jauh lagi, dalam studi yang dilakukan oleh Tanoto Foundation, Ivan Lanin menyebutkan bahwa literasi di era sekarang mencakup lebih dari sekadar calistung (membaca, menulis, dan berhitung).Â
Literasi mencakup kemampuan memahami, menilai, dan bahkan menghasilkan informasi baru, terutama di tengah perkembangan teknologi digital saat ini.Â
Dengan kata lain, kurangnya akses baca akan membuat generasi muda kita tertinggal, tidak hanya secara akademis tetapi juga dalam kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan zaman yang semakin cepat.
Kolaborasi adalah Kunci
Bagaimana kita mengatasi masalah ini? Jawabannya terletak pada kolaborasi lintas sektor.Â
Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bergandeng tangan.Â
Dalam laporan dari Readmore.id, kolaborasi ini sangat penting untuk menciptakan kesempatan bagi semua pihak berkontribusi dalam meningkatkan akses baca.Â
Pemerintah dapat meningkatkan fasilitas dasar seperti perpustakaan dan ruang baca, sementara sektor swasta dapat berperan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk menyumbangkan buku atau menyediakan ruang baca.Â
Komunitas lokal juga memainkan peran penting, misalnya melalui inisiatif Kampung Literasi yang menyediakan pojok baca bagi warga setempat.