Hal ini tentu membawa keuntungan finansial bagi mereka. Menurut referensi terlampir, pedagang seperti Sangkala mampu memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang signifikan, terutama selama kemarau panjang.
Namun, jika kita melihatnya dari sisi yang lebih luas, kenaikan permintaan air ini juga menandakan adanya ketergantungan yang besar pada pedagang air.Â
Masyarakat yang kesulitan mendapatkan air bersih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli air.Â
Di sinilah muncul pertanyaan: apakah ini solusi sementara atau masalah yang seharusnya diselesaikan secara lebih sistematis oleh pemerintah?
Tantangan yang Dihadapi Pedagang Air
Menjalankan bisnis air selama musim kemarau ternyata tidak semudah yang dibayangkan.Â
Pedagang air seperti Sangkala dan Herman menghadapi tantangan besar, mulai dari antrean panjang di lokasi pengisian air hingga jarak yang jauh untuk pengiriman air ke konsumen.Â
Ini tentu memakan waktu dan biaya lebih. Bahkan, ada kalanya permintaan terlalu tinggi hingga mereka harus menunggu berjam-jam untuk bisa mengisi air kembali.Â
Tidak hanya itu, biaya operasional, seperti bahan bakar untuk mengantarkan air, juga ikut naik, yang pada akhirnya memengaruhi harga jual.
Namun, di balik semua tantangan ini, Sangkala tetap mampu menjaga kualitas air yang ia jual.Â
Sumur-sumur di Desa Baruga, tempat ia mengambil air, masih tetap memberikan pasokan air meski musim kemarau terus berlanjut.Â
Hal ini menunjukkan bahwa ada sumber daya air yang tetap bisa diandalkan, meski tidak semua daerah seberuntung itu.