Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua, dan ini tidak hanya disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi juga oleh ketidakcocokan antara keahlian yang dimiliki para pemuda dan kebutuhan pasar kerja.
Sekolah menengah kejuruan (SMK) dan universitas memang menghasilkan lulusan, tetapi masalah utama yang dihadapi adalah kurangnya relevansi kurikulum dengan dunia kerja yang terus berkembang.Â
Para pemuda ini akhirnya tidak siap menghadapi tuntutan perusahaan yang terus mencari efisiensi.Â
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2023), lulusan SMK memiliki TPT tertinggi, mencapai 9,31 persen.Â
Artinya, lulusan-lulusan ini adalah yang paling banyak menganggur karena kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Ketidakcocokan Ekspektasi dan Realita
Di sisi lain, perusahaan, terutama yang berada di bawah tekanan untuk meningkatkan keuntungan, menerapkan ekonomisasi sebagai strategi untuk menekan biaya, termasuk upah tenaga kerja.Â
Namun, upah rendah ini sering kali tidak menarik bagi tenaga kerja muda.Â
Ada kesenjangan yang jelas antara ekspektasi gaji dari para pekerja muda dan kenyataan yang ditawarkan oleh perusahaan.Â
Sebagai contoh, pemuda dengan latar belakang pendidikan tinggi berharap mendapatkan kompensasi yang sebanding dengan investasi pendidikan mereka.Â
Tetapi, perusahaan, dalam upayanya untuk meminimalkan biaya, sering kali menawarkan upah yang jauh di bawah standar.
Ini menciptakan lingkaran setan: perusahaan membutuhkan tenaga kerja murah untuk menjaga efisiensi, sementara tenaga kerja muda mencari upah yang layak untuk mencukupi biaya hidup mereka.Â