Antrean panjang pencari kerja di Mega Career Expo baru-baru ini di Jakarta, dengan ribuan pemuda berusia 15-29 tahun menanti giliran untuk mencari pekerjaan, seolah-olah menggambarkan realita pahit yang tengah melanda generasi muda di Indonesia.Â
Meski angka pengangguran keseluruhan di Jakarta menurun, kenyataannya, sebagian besar yang masih menganggur adalah pemuda.
Ini bukan hanya masalah kurangnya pekerjaan, tetapi masalah sistemik yang lebih dalam: ekonomisasi.
Apa Itu Ekonomisasi?
Bagi banyak orang, kata "ekonomisasi" mungkin terdengar asing, namun dampaknya dirasakan oleh hampir setiap pekerja, terutama generasi muda.Â
Konsep ini pada dasarnya adalah upaya perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya produksi sekecil mungkin, termasuk biaya tenaga kerja.Â
Menurut penelitian dari GoodStats pada 2023, 70,37 persen pengangguran di Jakarta pada usia 15-29 tahun, atau sekitar 249 ribu orang, adalah hasil dari ketidakseimbangan antara ekspektasi tenaga kerja dan kenyataan yang mereka hadapi di pasar kerja.
Para pemuda ini menghadapi dilema: menerima pekerjaan dengan upah rendah yang tidak sesuai dengan pendidikan dan keterampilan mereka, atau tetap menganggur dengan harapan ada peluang yang lebih baik.Â
Dalam konteks ini, perusahaan yang terjebak dalam mentalitas ekonomisasi lebih cenderung menawarkan gaji yang jauh di bawah ekspektasi mereka.
Ini bukan hanya masalah pemuda yang "terlalu pilih-pilih", tetapi lebih kepada realitas yang mereka hadapi.
Dampak Ekonomisasi pada Generasi Muda
Generasi muda, khususnya mereka yang baru lulus sekolah atau kuliah, adalah kelompok yang paling rentan terhadap praktik ekonomisasi ini.Â
Menurut laporan dari Tirto.id, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk kelompok usia 15-24 tahun di Jakarta mencapai 17,59 persen pada Agustus 2023.Â