Kekerasan di sekolah, sebuah fenomena yang terus berulang, menimbulkan kekhawatiran besar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.Â
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kekerasan di sekolah tetap menjadi masalah kompleks yang memerlukan pendekatan baru.
Salah satu pendekatan yang pantas mendapat perhatian serius adalah pengembangan keterampilan empati di kalangan siswa, melalui program pendidikan yang terstruktur.Â
Apa sebenarnya keterampilan empati, dan mengapa penting dalam konteks pendidikan? Apakah mungkin empati menjadi solusi utama untuk mengakhiri kekerasan di lingkungan sekolah?Â
Mari kita eksplorasi lebih lanjut.
1. Empati: fondasi dalam interaksi sosial di sekolah
Empati, menurut literatur pendidikan, didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk merasakan dan memahami perasaan serta perspektif orang lain.Â
Dalam konteks sekolah, keterampilan ini sangat krusial.Â
Sebagai bagian dari pendidikan sosial-emosional, empati membantu siswa untuk menempatkan diri mereka dalam posisi teman-teman sebayanya, memahami perasaan mereka, dan bereaksi dengan lebih konstruktif.Â
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Greater Good Science Center di Universitas California, empati ini bisa dikembangkan melalui latihan terstruktur, baik di kelas maupun dalam lingkungan sosial di sekolah.
Empati bukan hanya sekedar kata.Â
Ini adalah kemampuan yang memungkinkan siswa untuk lebih mengenal satu sama lain pada tingkat emosional yang lebih dalam, meminimalisasi konflik yang sering berakhir dengan kekerasan.Â
Jika empati menjadi fondasi dalam interaksi sosial sehari-hari di sekolah, tidak hanya hubungan antar siswa yang akan lebih baik, tetapi juga akan tercipta iklim belajar yang lebih kondusif.Â
Dengan demikian, empati menjadi salah satu elemen penting dalam mengurangi insiden kekerasan di sekolah.
2. Pengembangan keterampilan empati di sekolah: praktik dan implementasi
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita bisa mengembangkan keterampilan empati ini di sekolah?Â
Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah konkret dalam mengintegrasikan empati ke dalam kurikulum pendidikan. Di Finlandia, misalnya, program anti-bullying berbasis empati yang dikenal sebagai KiVa telah menunjukkan hasil yang signifikan.
Program ini tidak hanya berfokus pada menghentikan perilaku kekerasan tetapi juga membantu siswa memahami dampak emosional dari tindakan mereka terhadap orang lain melalui simulasi sosial dan permainan peran.
Program seperti KiVa bukanlah satu-satunya.Â
Di berbagai negara lain, pelajaran berbasis mindfulness, pengajaran perspektif, dan pelatihan berbasis simulasi mulai diterapkan.Â
Di sekolah-sekolah ini, empati diajarkan secara eksplisit, dan hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti program ini cenderung memiliki perilaku sosial yang lebih positif.Â
Hal ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung, di mana kekerasan secara signifikan berkurang.
3. Program empati yang sukses: belajar dari Finlandia
Finlandia adalah contoh negara yang berhasil menerapkan program berbasis empati dengan sukses.Â
Seperti yang telah disebutkan, program KiVa secara langsung menargetkan perundungan (bullying), sebuah bentuk kekerasan di sekolah yang sangat merusak baik secara fisik maupun emosional.Â
Program ini dirancang dengan pendekatan holistik, yang tidak hanya berfokus pada korban dan pelaku, tetapi juga pada siswa yang menjadi penonton.Â
Melalui latihan dan diskusi kelompok, para siswa diajarkan untuk mengenali perasaan teman-teman mereka dan memahami dampak dari perundungan.
Hasil dari program ini cukup mencengangkan.Â
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Oxford University Press, sekolah-sekolah yang menerapkan KiVa mengalami penurunan signifikan dalam insiden perundungan.Â
Lebih dari itu, para siswa yang mengikuti program ini juga menunjukkan peningkatan dalam kemampuan mereka untuk merespons konflik dengan cara yang lebih positif dan tidak kekerasan.
4. Dampak empati terhadap kekerasan di sekolah: apa kata penelitian?
Penelitian yang dilakukan oleh Greater Good Science Center dan American Psychological Association menunjukkan bahwa keterampilan empati memiliki dampak langsung pada pengurangan kekerasan di sekolah.Â
Siswa yang mampu mengembangkan empati cenderung lebih mampu mengelola emosi mereka dengan lebih baik, memahami perasaan orang lain, dan menghindari tindakan kekerasan sebagai respons terhadap situasi yang menegangkan.
Keterampilan empati ini juga membantu siswa dalam mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan teman sebaya, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang lebih aman dan harmonis di sekolah.Â
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa empati bukan hanya merupakan keterampilan sosial, tetapi juga alat penting dalam membangun budaya sekolah yang bebas dari kekerasan.
5. Rekomendasi kebijakan: integrasi empati dalam kurikulum sekolah
Lalu, bagaimana kebijakan di Indonesia bisa diubah untuk mengintegrasikan program pengembangan empati ini dalam kurikulum sekolah?Â
Berdasarkan rekomendasi dari berbagai penelitian, pendidikan sosial-emosional yang mencakup pelatihan empati harus menjadi bagian penting dari kurikulum sekolah.Â
Ini menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan tidak hanya harus menitikberatkan pada prestasi akademik, tetapi juga perlu memberikan perhatian serius pada pengembangan kemampuan emosional dan sosial para siswa.
Sekolah-sekolah di Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa dengan Finlandia, di mana program-program seperti KiVa disesuaikan dengan konteks budaya lokal.Â
Kolaborasi dengan psikolog, pendidik, dan pihak terkait lainnya penting untuk memastikan bahwa program ini dirancang dengan baik dan dapat diimplementasikan dengan efektif di sekolah-sekolah.Â
Program-program ini juga perlu diintegrasikan dengan mata pelajaran lain atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga pengembangan empati menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan siswa.
Kesimpulan
Meninjau bukti-bukti yang ada, jelas bahwa keterampilan empati memiliki peran kunci dalam mengurangi kekerasan di sekolah.
Pengembangan keterampilan ini tidak hanya membantu siswa dalam memahami perasaan orang lain, tetapi juga membantu mereka merespons konflik dengan cara yang lebih konstruktif.Â
Dengan mengadopsi program-program yang telah terbukti berhasil, seperti KiVa di Finlandia, Indonesia dapat mengatasi masalah kekerasan di sekolah dengan lebih efektif.
Namun, semua ini membutuhkan komitmen yang serius dari pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat.Â
Empati bukanlah keterampilan yang datang dengan sendirinya; ia harus diajarkan dan dikembangkan dengan cara yang terstruktur dan konsisten.Â
Oleh karena itu, sudah saatnya kebijakan pendidikan di Indonesia mengintegrasikan pengajaran empati sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah, demi masa depan yang lebih aman dan damai bagi anak-anak kita.
Referensi:
Greater Good Science Center. (2023). Teaching Empathy: Evidence-Based Practices. Greater Good Science Center, University of California, Berkeley.
O’Connell, T., Pepler, D., & Craig, W. (2021). Empathy Training and Anti-Bullying Programs: An Overview of Best Practices. Journal of Educational Psychology, 113(4), 611-625.
American Psychological Association. (2021, November). Cultivating Empathy: Tools to Reduce Violence in Schools. APA Monitor, 52(11).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H